Kamis 12 Mar 2020 18:19 WIB

Jangan Ada Monopoli Penafsiran Terhadap Pancasila

Tafsir Pancasila oleh negara ini diimbangi oleh tafsir dari komunitas.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Yusuf Assidiq
Logo Muhammadiyah.(Wikipedia)
Foto: Wikipedia
Logo Muhammadiyah.(Wikipedia)

REPUBLIKA.CO.ID, SIDOARJO -- Mantan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BP­IP) Yudi Latif mengatakan, sila-sila pada Pancasila itu sebagian diperas dari nilai-nilai agama. Di mana nilai-nilai agama tersebut bisa diakui oleh seluruh agama di Indonesia.

Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa contohnya, tidak ada satu agama pun di Indonesia yang menolaknya. "Ketuhanan, bertentangan dengan agama mana? Kemanusiaan, persatuan, musyawarah, keadilan, itu nilai-nilai inti yang disepakati oleh agama-agama. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Ketuhanan dalam sila pertama itu tidak merujuk pada agama apapun, tapi juga tidak bertentangan dengan agama apapun," kata Yudi.

Yudi Latif pun mengingatkan, Pancasila tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada monopoli negara. Menurutnya organisasi-organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, NU, media, budayawan, dan sebagainya, harus juga sama-sama mengembangkan nilai-nilai Pancasila. Sehingga menjadi check and balance bagi Pancasila tersebut.

"Jadi tafsir Pancasila oleh negara ini diimbangi oleh tafsir dari komunitas. Sehingga terjadi sintesis yang sehat dan mencegah pemanipulasian Pancasila oleh kepentingan politik jangka pendek, oleh kekuasaan," ujar Yudi.

Di lain pihak, Prof Din Syamsuddin mengingatkan kepada semua pihak untuk menjauhkan Pancasila dari upaya mono­poli kepemilikan dan penafsiran. Upaya kepe­milikan dan penafsiran sepihak menurutnya tidak hanya bertentangan dengan esensi Pancasila itu sebagai kesepakatan.

"Tapi juga dapat membuyarkan kesepakatan itu sendiri. Walaupun Pancasila boleh ditafsirkan kelompok atau lembaga tertentu asalkan tidak menyimpang dari tafsir umum, namun harus berasal dari tafsir kolektif dan lembaga kesepakatan," kata Din.

Din juga mengingatkan untuk mendekatkan Pancasila dan Negara Pancasila dengan akar kelahirannya, khususnya agama dan budaya. Menurutnya sudah sangat jelas, sila Ketuhanan yang Maha Esa, berpangkal pada agama. Maka agama dan Pancasila layaknya setali dua uang.

"Keduanya bersahabat dekat dan oleh karena itu, Pancasila harus didekatkan dengan agama, pun sebaliknya. Maka wacana kebangsaan, harus bercorak dialogis-harmonis, bukan dialektik-antagonistik," ujarnya.

Din menekankan, sebagai ideologi negara, Pancasila perlu diperbuatkan, tidak sekadar diperkatakan. Maka, nilai-nilai Pan­casila harus disenyawakan ke dalam proses pembangunan nasional dalam berbagai aspeknya. Suatu agenda mendesak dalam sistem nasional, khusus­nya bidang politik dan ekonomi, menurutnya, harus disesuai­kan dengan imperatif sila-sila Pancasila.

Dalam forum yang sama, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Saad Ibrahim berpendapat jika berpikir secara rasional semestinya Indonesia adalah negara agama. Karena Indonesia merupakan negara Pancasila di mana sila pertama pada Pancasila menyebut Ketuhanan yang Maha Esa.

"Ketuhanan yang Maha Esa itu baik menurut Muhammad Hatta maupun tokoh Islam pendiri bangsa lainnya, itu tidak bisa tidak agama," kata Saad, saat menjadi pembicara dalam seminar Pra Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Kampus I Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, pekan lalu.

Oleh sebab itu menurut  Saad, sila lain dari Pancasila, termasuk undang-undang, peraturan pemerintah baik di pusat dan daerah, tidak boleh berlawanan dengan sila pertama. Karena sila pertama merujuk pada agama, maka seluruh aturan-aturan di bumi Indonesia, harus berbasis agama.

"Jadi arah kita dalam konteks membawa Indonesia ke depan itu, bolehlah tidak perlu diberikan nama negara Islam. Tapi harus berdasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa, berdasarkan agama," ujar Saad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement