REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Santi Sopia, Antara, Novita Intan
Kerugian yang bisa dicatat akibat penyebaran virus corona terus terjadi. Salah satu yang paling terasa adalah lesunya sektor pariwisata di Indonesia.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mencatat, kerugian sektor pariwisata akibat penyebaran virus corona mencapai 1,5 miliar dolar AS. Besaran tersebut mencakup potensi kehilangan pendapatan sektor selama periode Januari hingga pertengahan Maret.
Hariyadi menjelaskan, sebanyak 1,1 miliar dolar AS di antaranya merupakan potensi kehilangan dari wisatawan China. Dasar perhitungannya, jumlah wisatawan China ke Indonesia pada tahun lalu mencapai 2 juta orang dengan pengeluaran per orang sekitar 1.100 dolar AS.
"Kita asumsikan separuhnya hilang, itu sudah 1,1 miliar dolar AS," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (12/3).
Sementara itu, 400 juta dolar AS lainnya merupakan multiplier effect (efek kelanjutan) dari pembatalan kedatangan turis China ke Indonesia. Misalnya, banyak negara yang ikut membatalkan perjalanan karena takut atau memang sudah dilarang oleh otoritas.
Salah satu dampaknya sudah terlihat di Jakarta. Hariyadi mencatat, tingkat okupansi hotel di ibu kota hanya 30 persen. Hal tersebut menjadi sesuatu yang serius.
"Kalau rata-rata sudah 30 persen atau turun, itu sudah pasti akan mengalami karyawan harus digilir mengingat perusahaan harus mengatur cash flow," tuturnya.
Hariyadi menyebutkan, sampai saat ini, pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor pariwisata, khususnya industri hotel dan restoran, memang belum terjadi. Tapi, sejumlah hotel sudah mulai menggilir jadwal karyawan tetap, seperti yang dilakukan di Bali. Jasa daily worker atau pekerja harian pun sudah tidak lagi digunakan.
Kebijakan tersebut dilakukan untuk menjaga arus uang perusahaan. Apabila 100 persen karyawan masuk setiap hari, berarti perusahaan harus mengeluarkan biaya penuh. "Sekarang, mereka coba menurunkan di angka 50 persen untuk biaya tenaga kerja," kata Hariyadi.
Kondisi serupa juga terjadi di restoran. Hariyadi menjelaskan, restoran lebih banyak menggunakan jasa karyawan kontrak sehingga relatif tidak terlalu rumit dibandingkan hotel. Artinya, mereka dapat lebih bisa beradaptasi dari segi penyesuaian jumlah karyawan.
Dengan tekanan yang ada sejauh ini, Hariyadi pun merevisi target pertumbuhan industri hotel dan restoran. Dari yang biasanya dapat tumbuh 10 hingga 12 persen per tahun, tahun ini industri mungkin hanya mampu tumbuh lima persen. "Itupun kalau ada pembalikan," tuturnya.
Pembalikan yang dimaksud adalah kondisi atau kebijakan yang mampu menggaet wisatawan dalam jumlah signifikan. Apbila situasi ini tidak terjadi, Hariyadi memprediksi, industri hotel dan restoran bisa tumbuh di bawah lima persen sampai akhir tahun.
Untuk menekan kekurangan akibat lesunya pariwisata, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sutrisno Iwantono berharap ada kebijakan pengurangan pajak hotel dan restoran di seluruh Indonesia. Kebijakan tersebut diharap tidak hanya di 10 tujuan wisata saja, namun pemerintah daerah harus turut membantu dan tidak hanya dibebankan kepada pemerintah pusat.
"Untuk sektor pariwisata terutama hotel dan restoran yang megap-megap saat ini di seluruh Indonesia," kata Sutrisno Iwantono.
Iwantono mengatakan kebijakan pemerintah pusat mengganti pajak daerah 10 persen di 10 destinasi wisata saja tidak cukup. Karena yang bermasalah saat ini di seluruh Indonesia, sehingga semuanya perlu dibantu.
Namun, kata Iwantono, akan sangat berat kalau semua stimulus pajak itu ditanggung oleh pemerintah pusat saja. Ia mengatakan, selama ini yang menerima pajak hotel dan restoran sebesar 10 persen adalah pemerintah daerah (pemda) bukan pemerintah pusat, karena itu pemda (kabupaten/kota) harus ikut memikul tanggung jawab ini.
Iwantono mengatakan mestinya pajak hotel dan restoran jikapun tidak dibebaskan penuh seperti di 10 destinasi itu, paling tidak diturunkan misalnya menjadi 5 persen, dan pemerintah daerah menanggung itu. "Perlu diketahui bahwa stimulus pembebasan pajak di 10 destinasi itu bukan diterima oleh hotel dan restoran, tetapi diterima oleh pemerintah daerah. Nah pemerintah pusat harusnya membicarakan itu dengan pemerintah daerah," katanya.
Iwantono mengatakan, saat ini kunjungan wisatawan sedang turun, bukan saja turis dari China, tetapi dari semua negara anjlok. "Hotel dan restoran yang sudah melorot dalam tahun-tahun terakhir ini bertambah runyam," katanya.
Ia mengatakan, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia pada Januari 2020 mencapai 1,27 juta kunjungan. Jika dibandingkan dengan Desember 2019, penurunan sebesar 7,62 persen. "Untuk Februari dan Maret 2020, sejak pecahnya wabah Corona mulai banyak hotel yang akan merumahkan karyawannya," kata Iwantono yang juga Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Mengenai dampak penambahan hari libur nasional, Iwantono mengatakan belum jelas, tetapi dampak penurunan produktivitas hampir pasti. "Bayangkan bila karyawan hotel disuruh libur pada masa Lebaran, mau menginap di mana orang yang pada liburan," katanya.
Penurunan jumlah wisatawan mancanegara namun dipandang berbeda oleh Yozua Makes, pendiri sekaligus pemilik Plataran Group. Indonesia seharusnya bisa melihat bencana virus ini dari sisi berbeda.
"Kalau dikatakan sepi, ini sinyal juga bahwa ayo kita bangun kembali wisatawan domestik, orang Indonesia itu tingkat keberaniannya cukup tinggi sebenarnya. Tapi jangan juga terus ditakut-takuti," ungkap Yozua.
Indonesia tetap harus optimistis melewati badai ini. Menurut dia, waspada perlu, tetapi juga jangan sampai kehilangan optimisme dan takut berlebihan.
Upaya yang dilakukan pihaknya juga termasuk melalui sistem keamanan kesehatan untuk setiap tamu. Selain itu, terus memutakhirkan data sekaligus memberikan informasi yang akurat kepada pelanggan.
Sejauh ini kunjungan wisatawan ke Bali, misalnya, didominasi dari mancanegara. Salah satu wisatawan mancanegara terbanyak juga dari China, namun Bali harus sementara waktu menutup kunjungan, baik dari dan ke China.
Pasar domestik bisa menjadi lokomotif penggerak ekonomi Indonesia dalam menghadapi efek negatif tantangan corona.
Penyebaran virus corona yang kian masif termasuk ke Indonesia membuat Bank Indonesia (BI) menghitung ulang pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, penyebaran virus corona sudah meluas di berbagai negara maju sehingga perlu ada kalkulasi kembali perhitungan ekonomi Indonesia. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah akibat dampak virus corona yang sudah meluas.
"Pertumbuhan ekonomi memang harus dilihat begitu perang dagang terdampak pada kuartal IV 2019 di bawah lima persen atau sekitar 4,7 persen dan sekarang harus mengkalkulasikan lagi dampak corona. Pada bulan lalu dihitung, kami masih optimistis 4,9 persen. Secara keseluruhan masih bisa 5,1 persen, kalau di push stimulus fiskal dan moneter bisa 5,2 persen," ujarnya saat acara Early Year Forum di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta, Rabu (11/3).
"Nanti akan diumumkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini. Secara keseluruhan ekonomi kita tahan tapi kita harus perkuat sumber ekonominya, sehingga bisa recovery," ucapnya.
Menurutnya, saat ini penyebaran virus corona merambah ke Italia dan Amerika Serikat sehingga mengkhawatirkan pelaku ekonomi dunia. Bank Indonesia pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia berkisar 2,7 persen-2,8 persen pada tahun ini.
"Sedikit di bawah dari perkiraan yang disampaikan pada akhir Februari lalu sebesar 3,0 persen karena memang ada gangguan global supply chain dan pertumbuhan di negara-negara maju termasuk Amerika Serikat dan beberapa negara," jelasnya.