REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Alkhaledi Kurnialam/Jurnalis Republika
Awal pekan ini mungkin adalah momen bahagia sekaligus sulit bagi Sari (28 tahun), warga Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak. Bahagia karena ternyata anak keduanya lahir dengan selamat, namun juga menjadi momen sulit baginya karena melahirkan bayi dari kandungannya di tempat terbuka.
Sari terpaksa harus melalui proses persalinan tepat di atas jalan berbatu di salah satu jalan poros Desa Cinangka-Cibarani. Ia bahkan memberi nama anaknya sendiri dengan nama Borojol karena kelahiran anaknya berlangsung secara ngaborojol (lahir) di jalan.
Kepala Desa Cibarani Dulhani mengisahkan peristiwa yang cukup menyedihkan tersebut terjadi pada Senin (9/3) sekitar pukul 13.00 WIB. Kejadian warganya yang terpaksa harus melahirkan di tengah jalan karena jauhnya jarak puskesmas yang mencapai 20 kilometer, sementara kondisi jalan masih buruk.
"Akses ke puskesmas memang jauh, sampai 20 kilometer, sementara jalannya rusak sudah dari dulu belum ada perbaikan. Dari 20 kilometer itu cuma baru dua kilometer saja yang diperbaiki," kata Dulhani, Rabu (11/3).
Sari diantar oleh saudaranya menggunakan sepeda motor dari rumahnya di Kampung Pasir Sempur, Cibarani. Namun, karena akses jalan menuju puskesmas yang buruk, ban motor Sari kempes dalam perjalanan sehingga ibu hamil tersebut terpaksa melahirkan di jalan.
Kejadian ibu hamil melahirkan bukan di fasilitas kesehatan, disebut Dulhani bahkan bukan lagi hal baru di daerahnya. "Sudah sering kejadian, ada yang melahirkan di rawa hingga lumbung padi. Kalau ada yang sakit seperti malaria juga biasanya hanya pakai air dari dukun," ungkapnya.
Dulhani mengaku sudah seringkali meminta bantuan pemerintah Kabupaten Lebak untuk dibuatkan puskesmas pembantu di desanya agar warganya tidak terlalu jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan. Masalah angkutan hingga perbaikan akses jalan juga sudah berkali-kali diminta, namun belum juga ada respon yang memuaskan.
"Sepertinya memang namanya orang kecil ya, kalau minta bantuan kabupaten atau provinsi sulit. Akses jalan dan fasilitas kesehatan ini sifatnya dibutuhkan segera untuk sekitar 2000 lebih warga dan 700 kepala keluarga (kk), karena sehat itu mahal," katanya.
Sementara Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya justru meminta tiap kelurahan untuk menegakkan Peraturan Bupati Nomor 26 Tahun 2016 yang mengharuskan setiap rumah memasang bendera khusus untuk menandakan kalau di dalamnya ada ibu hamil. Hal ini dilakukan agar warga lain siaga dan membantu keluarga tersebut.
"Kita akan evaluasi karena sebenarnya dari puskesmas kita sudah ada gerakan masyarakat melalui Perbup Nomor 26 Tahun 2016 terkait pemasangan bendera untuk rumah ibu hamil. Ternyata tidak dijalankan oleh seluruh desa, maka akan kita adakan revisi supaya tidak hanya ditegur saja yang tidak melakukan, tapi juga disanksi," ungkap Iti.
Iti juga mengaku akan menegakkan aturan ibu hamil untuk melakukan persalinan di fasilitas dan petugas kesehatan yang resmi. Hal ini penting lantaran masih banyak warganya yang masih menggunakan jasa paraji (dukun beranak).
"Ada satu kasus di satu kecamatan yang meninggal sampai tujuh orang yang dilakukan oleh paraji yang sama. Akan kita evaluasi supaya perbub diintergrasikan dengan UU pidana, ketika paraji menghilangkan satu nyawa seseorang bisa dikenakan sanksi pidana," ungkapnya.
Kasus ibu hamil kesulitan mendapatkan akses kesehatan di Kabupaten Lebak sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Pada September 2019 lalu juga ramai kasus seorang Ibu hamil, Kenti (41) di Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, yang terpaksa ditandu ke puskesmas lantaran akses jalan yang tidak bisa dilalui kendaraan. Kejadian ini bahkan menyebabkan bayi dalam kandungan ibu hamil tersebut meninggal sebelum mendapat pelayanan medis.