REPUBLIKA.CO.ID, Gerobak-gerobak delman terparkir rapi di bantaran Kali Grogol, Slipi, Jakarta Barat, Selasa (10/3). Setelah berjalan kaki sekitar 50 meter menyusuri jalanan tanah di bantaran kali, tempat gerobak-gerobak itu diparkir, terdapat sekitar 20 kandang kuda.
Aroma dari kotoran kuda yang tergeletak di sekitar kandang kuda begitu mengusik hidung orang yang belum terbiasa menghirupnya. Ditambah lagi di sepanjang jalan itu juga terdapat tumpukan sampah milik para pengepul. Berbeda dengan warga yang berada di sekitar lokasi itu, mereka tampak sudah terbiasa.
Jalanan itu merupakan jalan buntu. Sehingga para pemilik kuda menggunakan lahan itu untuk mendirikan kandang. Sebab, mereka tidak diizinkan membangun kandang di permukiman warga.
Kondisi kandang kuda itu tampak ala kadarnya. Bangunannya terbuat dari balok-balok kayu dan bambu. Sementara atapnya hanya disusun menggunakan sisa seng-seng, plastik, ataupun karung. Lantai kandangnya pun terbuat dari kayu.
Setiap kandang yang ada diisi oleh satu ekor kuda jantan. Di wilayah itu terdapat sekitar 20 kandang kuda dan puluhan gerobak delman yang dihias dengan cat warna-warni. Kuda-kuda itu sebagian besar dibeli dari Bandung, Jawa Barat.
Tidak setiap kusir memiliki kuda pribadi. Ada beberapa kusir yang juga menggunakan kuda milik saudara maupun kenalannya. Salah satu yang memiliki kuda secara pribadi adalah Jeni. Meski demikian, dia mengaku tidak begitu mengetahui detail jenis kuda miliknya itu.
Di luar kandang itu, terdapat tumpukan kotoran kuda. Jeni menjelaskan, kotoran-kotoran itu hanya dibiarkan menumpuk di luar kandang atau dipindahkan di bantaran kali. Bahkan, tak jarang kotoran itu membekas di sepanjang jalan tersebut.
"Biasanya nanti ada tukang pedagang tanaman gitu yang ambil kotorannya (kuda) buat dijadikan kompos. Gratis, paling mereka cuma ngasih duit buat ngopi saja," tutur Jeni.
Menurut Jeni, tidak ada biaya sewa yang dipungut dari keberdaan kandang kuda di sana. Sebab, lahan yang digunakan memang lahan kosong dan jalan buntu. Para pemilik kuda pun tidak tinggal di sana. Sebagian besar mereka bermukim di sekitar Kompleks Pajak, Jalan Kemanggisan Raya, Palmerah, Jakarta Barat. "Jadi di sini khusus kandang kudanya," ucap dia.
Saat tiba di lokasi kandang kuda, Jeni terlihat sedang menyisir badan seekor kuda berwarna coklat muda. Kuda itu tampak tenang dan menikmati sentuhan dari sisir itu. Jeni mengatakan, yang ia lakukan bukanlah sekadar menyisir biasa, tetapi disebut roskam. "Roskam itu dikerok atau dibersihkan dakinya," ujar Jeni.
Proses roskam itu dilakukan satu kali sehari setiap pagi. Sebelum diroskam, kuda akan terlebih dahulu dimandikan menggunakan sabun. Usai diroskam, kuda kembali dibilas menggunakan air bersih tanpa sabun.
Proses roskam itu pun dilakukan dengan menggunakan alat sisir khusus yang terbuat dari seng dan memiliki gerigi. Sisir ini, kata Jeni, dapat ditemukan cukup mudah di pasaran.
Sementara itu, untuk memenuhi asupan makanan kudanya, Jeni memberikan rumput yang dicampur dengan dedak. Ia menjelaskan, untuk mendapatkan rumput tersebut, setiap harinya ia harus mencarinya hingga ke wilayah Puri, Kembangan, Jakarta Barat.
Dalam sehari, Jeni mengumpulkan rumput ke dalam satu karung. Menurut ayah dua anak ini, ia akan cukup kesulitan mendapatkan rumput jika musim kemarau telah tiba. Dia pun akhirnya harus mencari rumput jenis lain.
Kuda berusia empat tahun itu biasanya diajak menarik gerobak delman di kawasan Monas, Jakarta tiap hari akhir pekan. Untuk satu kali mengitari kawasan Monas dengan menggunakan delman, dikenakan biaya sebesar Rp 100 ribu. Namun, tak jarang Jeni juga menarik delmannya di luar akhir pekan, misalnya ke Pasar Slipi.
Jeni menjelaskan, jika ia sedang beroperasi di perkampungan warga ada perbedaan tarif. Biasanya biaya yang ia kenakan sekitar Rp 3 ribu per orang. Delman baru akan jalan jika sudah terisi penuh. Dalam satu gerobak delman bisa diisi oleh lima penumpang dewasa. Empat orang di belakang kusir. Sedangkan satu orang lagi di samping kusir.
Kusir delman lainnya, Yudhy menyebut, selama akhir pekan, para kusir bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 1 juta saat beroperasi di kawasan Monas. Penghasilannya itu menurun sejak virus korona (COVID-19) mulai mewabah."Sekarang sih paling Rp 500 ribu doang, itu pun sudah maksa banget," ujar Yudhy.