REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - - Ketika anak terlalu disuguhi dengan tontonan yang keras dan kasar, maka anak akan terekspose pada hal-hal tersebut. Bukan hanya anak, orang dewasa pun akan berlaku hal yang sama.
“Kenapa anak-anak paling rentan? Karena ketika masih muda itu daya ingatnya paling kenceng, daya menyimpannya paling kencang, itu yang menetap di memori. Makanya kenapa bahaya jika dia terekspose yang keras terus menerus,” ungkap Psikolog Anak Tika Bisono saat dihubungi, Senin (9/3).
Tika melanjutkan, sudah banyak faktanya anak yang terbiasa melihat kekasaran, maka akan tumbuh dewasa menjadi sosok yang kasar. Karena itu, ungkapnya, pola asuh dari keluarga sendiri yang menentukan karakter anak tersebut ke depannya.
“Itu bukan kerjaan semalam dua malam, itu karena pola asuh, apa yang mereka alami sehari-hari, ketika diusia anak-anak, makanya bukan cuma lihat film, baca buku tapi perlakuan keras dan kasar yang dialami anak tiap hari, itu juga bisa membuat mereka menjadi pribadi yang keras dan kasar juga,” tuturnya.
Anak, kata Tika, seringkali menjadi sasaran empuk orang tuanya saat sedang lelah ataupun marah. Ditambah lagi, anak pun jarang sekali mendapatkan pujian orangtuanya. Tika khawatir, hal- hal ini yang kemudian berdampak buruk pada anak.
“Dasar nakal, tidak bisa diatur, itu (ucapan) keluar karena kesal tapi bayangkan tiap hari anak mendapatkan teriakan itu, dan tidak pernah dipuji. Terus-terusan dia salah, terus-terusan dia jelek, yang penting emosi orangtua tersalurkan ke anak. Ini dampaknya buruk sekali pada anak. (Apalagi) Kalau dia (anak) sudah meledak,” tutur Tika.
Misalnya saja kasus remaja yang telah membunuh anak berusia 5 tahun. Anak tersebut ternyata berprestasi di sekolah, pintar berbahasa Inggris dan pandai menggambar.
Tika curiga, anak tersebut jarang mendapatkan pujian dari orang-orang terdekatnya. Sehingga kemudian dia merasa seolah tidak dipedulikan orangtuanya.
“Setiap orang pelampiasan emosi berbeda. Karena engga imbang dia jadi (merasa) ada gunanya tidak sih,” ungkap dia.
Ditambah lagi, kata Tika, remaja tersebut juga tinggal bersama ibu tirinya. Bagaimana dengan kemungkinan jika ibu tirinya lebih sayang dan perhatian kepada anak lima tahun tersebut yang merupakan anak bosnya daripada remaja itu.
“Karena lebih manis kepada anak tetangganya, bisa juga pemicu kemarahan, ko saya tidak digituin, ko saya tidak disayang daripada anak itu padahal itu bukan anak ibu itu anak orang. Berbagai macam hal itu bisa jadi pemicu,” terangnya.
Sehingga lanjut Tika, ketika berbicara pola asuh maka harus ditelusuri lebih panjang lagi. Apakah sejak ganti ibu tiri remaja tersebut bahagia tidak hidupnya, mendapatkan perhatian tidak dari bapaknya, apalagi remaja itu tinggal di tempat padat penduduk.
Atau barangkali lanjut Tika, remaja tersebut pernah mendapatkan perlakukan tidak baik dari orang-orang yang nongkrong di lingkungannya saat masih kecil. Dan dia tidak melihat orangtuanya memberikan Perlidungan.
“Jadi dia kayak berjuang sendiri, melindungi sendiri, takut sendiri, begitu ketika orangtuanya memberikan perhatian lebih pada orang lain marahnya memuncak,” kata Tika.
“Ini semua asumsi ya, karena belum diperiksa secara psikologis yang betul-betul ke sana (menelusuri masalalunya),” kata Tika.
Selain itu, Tika kembali mengingatkan akan pentingnya peran Ketua RT, Ketua RW dalam memberikan Perlidungan kepada warganya. Jangan jauh-jauh ke pemerintah dan presiden kata Tika, yang terdekat adalah RT dan RW yang seharusnya melindungi warganya.
"Pimpinan komunitas, RT, RW menjadi pelindung warga, dan pak RT RW tolong cari profesi-profesi counselor mendirikan psikologi, psikiater, yang ada di RT buat program bincang-bincang, tukar pikiran dengan warga. Supaya warga itu tambah ngerti, tambah kuat dalam kondisi yang minim," sarannya.
Sebenarnya, kata dia, hal ini juga yang ingin dia sampaikan dalam sebuah tayangan di salah satu stasiun televisi. Namun karena keterbatasan waktu berbicara sehingga ia hanya fokus pada lingkup psikologi.
Seperti diketahui, Tika sempat menyarankan kepolisian untuk lebih dulu melibatkan psikolog daripada psikiater dalam menindak lanjuti kasus pembunuhan yang dilakukan remaja itu. Sebenarnya kata, dalam kasus ini banyak sekali pihak yang memang seharusnya dilibatkan termasuk psikiater.
Misalnya dengan menelusuri kegiatannya di sekolah, apakah ada kemungkinan menjadi korban bulliying maka ini juga terlibat dengan counselor psikologi, belum lagi harus menanyakan orang-orang di masa lalu anak tersebut.
"Kan yang ditanya data masa lalu si anak yang harus kita rekam dan banyak interview orang-orang, jadi harus di cek dan itu bukan kerjaan psikiater, psikiater kan medis. kalau dalam penelusuran masa lalu ditemukam gejala klinis maka diserahkan kepada psikiter. Jadi ini bukan nyerang, ini memproporsionalkan," jelas Tika.
"Jadi memang aku bilang, Pak polisi jangan psikiater dulu psikolog dulu. Maksudku ya emang psikolog dulu tapi kemudian yang lain pastinya, cuma karena waktunya pendek jadi fokus di psikologi," tambah dia.