REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Muhammadiyah sebagai ormas Islam selama ini telah memberikan peran aktif dalam gerakan keagamaan dan kemanusiaan. Ke depan, Muhammadiyah diharapkan menjaga ekeistensi tersebut dengan memperluas cakupan agar dampak positif gerakan Muhammadiyah menyentuh segala aspek kehidupan manusia.
Belum semua hak-hak yang seharusnya dinikmati komunitas difabel telah diberikan. Kondisi ini terjadi akibat pandangan kelompok masyarakat yang belum dapat menerima komunitas tersebut secara utuh makhluk yang semestinya mendapat perlakuan yang sama dengan masyarakat lainnya.
Menjadi tugas bagi Muhammadiyah dalam memuliakan gerakan baru untuk lebih banyak memperjuangkan hak-hak komunitas difabel. ‘’Salah satunya yang dapat dilakukan Muhammadiyah adalah pemberian kemudahan bagi kaum difabel untuk mengakses fasilitas pendidikan,’’ kata Wakil Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumut, Muhammad Qorib, dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah 2020 di Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU), Medan, pekan lalu.
Menurut Dekan Fakultas Agama Islam UMSU ini, bukti nyata kontribusi Muhammadiyah terhadap calon mahasiswa dari komunitas difabel adalah mau menerima atau responsif difabel di seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Qorib mengakui akhir-akhir ini, komunitas difabel menyedot perhatian masyarakat luar. Karena komunitas ini sering dianggap sebagai warga negara kelas dua karena keterbatasan fisik dan mental.
Seharusnya, agama tidak pernah membeda-bedakan manusia meskipun dari keterbatasan fisik. Muhammadiyah menurut dia harus mendorong agar komunitas difabel sejajar dengan semua masyarakat pada umumnya.
Dia menilai, komunitas difabel bukanlah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan. Namun harus diyakini bahwa Allah SWT menciptakan manusia lengkap dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan sudah banyak fakta bahwa kalangan difabel bisa melebihi prestasi manusia pada umumnya untuk beberapa hal.
Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, menurut Qorib, kaum difabel diistilahkan dengan dzawil ahat dzawil ikhyaj al-khasah atau dzawil a'dzar. Yang artinya orang-orang yang memiliki keterbatasan. Islam katanya tidak pernah mengategorisasi difabel atau non difabel sebagai sebuah standar. Standardisasi manusia dalam Islam menurutnya hanya berdasarkan tingkat ketakwaannya kepada Allah.
Dia ingin pada masa mendatang, Muhammadiyah turut memberikan fokus untuk memberdayakan kalangan difabel agar mendapatkan perlakuan dan akses yang sama dengan masyarakat lain. Apalagi Muhammadiyah yang sudah berusia satu abad lebih kini telah memiliki ranting hingga ke tingkat kecamatan dan desa di seluruh Indonesia. Melalui ranting, Muhammadiyah dapat menggandeng masyarakat dan pemerintah setempat agar tidak lagi membeda-bedakan manusia dari keterbatasan fisik.
Di tempat yang sama, dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Ismail Hasani memandang Muhammadiyah sebagai manisfestasi gerakan dari kelompok masyarakat yang memiliki perhatian terhadap dinamika umat Islam. Muhammadiyah menurut Ismail dapat memandu umat Islam menuju peradaban yang terus berubah.
Saat ini menurut Ismail permasalahan publik atau umat manusia yang menjadi perhatian gerakan pencerahan ialah masalah dehumanisasi. Di mana pihak-pihak tertentu tidak menghargai hak-hak manusia lain demi kepentingannya sendiri. Tindakan ini menurut Ismail yang berujung pada pelanggaran HAM.
"HAM sudah menjadi perhatian Muhammadiyah sebagai pelopor demokratisasi Indonesia. Dan masalah HAM inii masih eksis serta belum teresolusi," ujar Ismail.
Ismail memahami penegakkan HAM selaras dengan etos Al Maun yang disyiarkan pendiri Muhammadiyah sejak zaman pra kemerdekaan. Dia berharap pergerakan Muhammadiyah dalam upaya penegakkan HAM dapat bertolak dari kegiatan-kegiatan sosial yang selama ini sudah menjadi gerakan keseharian.