Senin 02 Mar 2020 04:04 WIB

Takut Corona, Penyebaran, dan Konspirasi

Kasus Corona begitu cepat menyebar.

Ratna Puspita
Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Ratna Puspita*)

Belum ditemukan kasus virus corona COVID-19 hingga hari ini di Indonesia. Kendati demikian, kekhawatiran dan ketakutan soal virus ini bukan berarti tidak menghinggapi banyak orang, termasuk saya.

Melihat bagaimana dengan cepat virus ini menyebar, kekhawatiran dan ketakutan pun muncul. Apalagi menengok Korea Selatan, yang angkanya dengan cepat melonjak. Virus juga sudah menyebar dari Daegu ke Ibu Kota Seoul, yang berjarak setara Jakarta ke Indramayu.

Pada pagi ini, ada 219 kasus baru virus corona di Negeri Ginseng. Artinya, ada 3.150 kasus yang menjadikan Korea Selatan sebagai negara kedua dengan kasus COVID-19 terbanyak. Media di Korea juga melaporkan ada 17 kematian karena virus corona.

Negara tetangga Indonesia di Asia Tenggara juga tidak ada yang bebas dari virus corona. Kasus virus corona baru ini sudah dilaporkan ditemukan di Singapura, Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Sementara Indonesia masih zero alias nihil kasus.

Tebak-tebakan soal alasan Indonesia bisa bebas virus corona pun mulai bertebaran pada kalangan wraganet di media sosial. Alasan tersebut mulai dari ras hingga iklim tropis yang membuat virus corona tidak mudah hidup. Tentu saja, alasan tersebut terbantahkan dengan ada orang Indonesia di luar negeri dan negara tropis lain di Asia Tenggara yang terpapar virus corona.

Tebak-tebakan lainnya, yakni soal gaya hidup orang Indonesia yang mengabaikan penyakit. Misalnya, apa pun sakitnya, orang akan: “ah, paling cuma masuk angin”.

Ada juga tebakan yang konspiratif, yakni pemerintah menutup-nutupi adanya penyakit ini. Cerita konspirasi ini kemudian menggema dengan komentar-komentar, “oh, iya, kerabat saya kerja di rumah sakit, katanya kalau ada suspect corona, enggak boleh diceritakan ke mana.”

Komentar seperti itu kemudian disahuti oleh komentar-komentar serupa yang membuat orang-orang bisa jadi terjebak dalam ruang gema (echo chamber). Alias, orang-orang tersebut hanya akan mendengar dan meyakini pendapatnya sendiri karena pendapat serupa digemakan oleh orang lain.

Tebakan yang tidak konspiratif, yakni pemerintah tidak cakap dalam memberikan layanan kesehatan. Misalnya, orang Indonesia kerap mengabaikan penyakit dan menganggap flu sebagai penyakit ringan yang bakal sembuh kalau didiamkan atau minum obat warung. Orang-orang ini kemudian tidak terjangkau oleh layanan kesehatan ketika mereka ternyata terpapar virus corona.

Tebakan ini menunjukkan ada persoalan pada edukasi atau sosialisasi kesehatan kepada masyarakat. Setidaknya, masyarakat masih tidak memahami kapan harus menganggap sebuah penyakit serius atau tidak, atau kapan sebaiknya ke dokter.

Padahal, jika kita menilik ke dua wabah corona sebelumnya, yakni SARS dan MERS, kasusnya tidak banyak ditemukan di Indonesia. Pada 2003, misalnya, pernah muncul kasus SARS. Namun, hanya ada dua kasus probable SARS di Indonesia.

Indonesia juga bebas dari MERS pada 2012 meski banyak warga yang berhaji dan umroh ke Arab Saudi. Saya ingat sampai tahun 2015, Kementerian Agama masih mengingatkan warga untuk tidak mendekati unta atau minum susu unta yang tidak dipanaskan. Warga diizinkan makan daging unta yang sudah dimasak karena virus mati pada suhu tinggi.

Namun, dari tebak-tebakan ini, baik konspiratif atau pun tidak, saya bisa menyimpulkan bahwa ada ketidakpercayaan publik yang menggema di media sosial kepada pemerintah. Pemerintah dianggap tidak punya kredibilitas dalam menyampaikan informasi.

Selain persoalan hubungan politik antara pemerintah dan masyarakat yang lahir dari pemilihan umum, problem ini muncul juga lantaran cara pemerintah menghadapi persoalan ini. Pemerintah berfokus pada persoalan menyelamatkan ekonomi.

Narasi soal ekonomi dalam segala persoalan beberapa bulan ini menjadi terasa menjemukan. Tentu saja, negara butuh uang, manusia butuh uang, tetapi ketika ekonomi dan investasi yang kemudian dijadikan highlight pada setiap persoalan, rasanya memang terasa memuakan.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement