Sabtu 29 Feb 2020 05:13 WIB

Gelora Membuku, Takdir Menjadi Pecinta Buku

Buku memiliki takdir unik, ia sering dicinta para insan yang dinaungi takdir tak kaya

Yusuf Maulana, pemilik pustaka rumah di Samben, Bantul, DIY.
Foto: Republika/Silvy Dian Setiawan
Yusuf Maulana, pemilik pustaka rumah di Samben, Bantul, DIY.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana, Kurator Buku Lawas

Hanya Rp 20 juta ia menawarkan ratusan koleksi bukunya. Pada suatu hari empat tahun lalu. Buku-buku dengan judul yang menggelorakan hati bagi yang paham dunia ilmu. Sebagian judul banyak yang dipunya, tetapi foto yang dipampangnya tidak surut hadirkan rasa untuk memiliki. Semua judul seperti tertera di foto. Di luar itu, ada rasa iba ketika seorang pemilik buku melepas koleksinya.

Melepas buku dengan nominal besar, dan jumlah judul berlimpah, pastilah ada apa-apa. Bukan ia tak lagi mencintai aksara. Bukan juga karena dendam bukunya tidak dapat didaras orang-orang tercinta. Selalu ada alasan yang sering di belakangnya pahit manakala ada kejadian seperti teman lapak tadi.

Ingin tentunya memboyong semua koleksinya. Tapi apa ada, saya bukan Muwaffa bin Muthran al-Dimsaqi yang memiliki semangat tinggi untuk mendapatkan buku. Saya juga bukan Sahib Ibnu Abbad yang memiliki kemampuan untuk membuat perpustakaan besar.

Kecintaannya pada buku barangkali bisa saya tiru, yakni saat ia memilih menolak jadi menteri bagi penguasa Bukhara, yakni pada era Nuh Ibn Mansur. Ia kesulitan memindahkan buku-bukunya, dikira memerlukan 400 ekor unta untuk mengangkutnya!

Untuk sebagian besar kita, sejauh ini, belum seperti Naila Khatun, janda kaya dari Turki yang mendirikan perpustakaan di samping masjid untuk mengenang sang suami. Kekayaannya mampu dijadikan alat untuk menyalakan suluh ilmu. Demikian lintasan masa yang pernah mengharumi cahaya peradaban Islam, sebagaimana diungkap dalam karya Agus Rifai (2013), Perpustakaan Islam.

Sungguh, ini bukan semata urusan harta tapi juga minat. Yang serupa Ahmad Dhani Prasetyo dalam soal kekayaan amatlah banyak di negeri ini. Tapi, selebritas yang dikenal kolektor buku “segila” Ahmad Dhani bisa dihitung jari. Sekali belanja buku, Ahmad Dhani bisa menghabiskan nyaris Rp 20 juta. Nominal yang mendekati cerita di awal tulisan ini.

Buku, tampaknya, memiliki takdir yang unik. Ia sering dicinta oleh para insan yang dinaungi takdir tidak kaya raya. Hingga tak sedikit muncul orang seperti Ibnu Khasyab, seorang alim dalam nahwu dan memiliki pengetahuan luas soal tafsir hadis, logika, dan filsafat.

Ibnu Khasyab punya cara agar nilai buku terjangkau buatnya: saat orang tengah lalai, ia merobek sebagian kertas kitab. Atau kala ia meminjam buku, dengan enteng ia berkata, “Ada kesangsian antar aku dan buku-buku itu sehingga aku tidak bisa mengembalikannya.” Niat baik tapi tak patut tentu saja.

Buku berbeda dengan benda seni, sebut saja lukisan. Lukisan seperti, dan sering kali, ditakdirkan jadi komoditas orang berduit. Harga yang keterlaluan dan tak masuk nalar, tak jadi soal bagi kolektor. Apalagi saat dijadikan alat investasi. Nasib tak sama dialami buku.

Lihatlah betapa anak-anak kampung dan kampus harus betah di perpustakaan karena ia tak kuasa membeli di jaringan toko buku besar. Ada pula yang terpaksa menggandakan buku kampus karena tak kuasa membeli edisi asli. Bukan karena tak hargai hak cipta, ini hanya soal isi dompet tak amat bersahabat.

Nun di seberang sana, saya dapati mereka—teman-teman saya juga—berpendapatan luar biasa. Dua digit dalam jutaan lumrah masuk di rekening. Sebuah nilai yang harus saya kejar dengan ngos-ngosan dalam skala sekian bulan. Sayangnya, mereka tidak (belum?) ditakdirkan menjadi pemburu buku.

Media pernah mengulas keberadaan kolektor muda, para milenial,dalam benda seni; para orang kaya baru (OKB) dari kalangan profesional muda. Tapi, saya sangsi apakah para OKB itu memaksa diri mencintai seni akibat literasi ataukah gengsi. Apa pun itu, nasib buku rupanya masih jauh untuk jadi simbol melekat OKB.

Apa susah membelanjakan RP 3 juta di sela gajian atau pendapatan bersih—sedikitnya— Rp 30 juta demi membuat perpustakaan keluarga? Apa sukar membelikan 1 juta saja di sela gajian Rp 100 juta (ya, hanya 1 persen pendapatan) buat membantu perpustakaan pribadi atau umum? Berinfak atau sedekah buku, membantu—misalnya—membeli buku para pemilik buku seperti lapak di atas. Soal bagaimana setelah membeli, biarlah itu urusan berikutnya. Akan ada pihak yang membantu kala niat baik hadir.

Jujur, iri saya pada beberapa teman yang kaya-raya adalah gara-gara mereka enggan membeli buku (belum ke tahap membaca). Hanya mengeluarkan tidak lebih Rp 200 ribu sebulan buat ke jaringan toko buku besar saban bulan, sementara uang di rekening minimal masuk Rp 20 juta—tanpa tanggungan utang pula. Nominal belanja yang amat jauh layak. Syukurnya, perhelatan tahunan semacam Islamic Book Fair di Jakarta, yang kini masuk ke-19 dan digadang-gadang terbesar se-Asia, mampu memikat sebagian teman yang masuk kategori seperti di tulisan ini.

Ada daya pikat hadirnya unsur “hiburan” bernama pengajian bersama para selebritas dan alim tenar. Dus, jadilah pajangan buku tak lagi dianggap aktivitas menjemukan di sela penat rutinitas. Terlebih kala pasangan hidup dan buah hatinya sudah merajuk minta memborong apa pun di sana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement