Jumat 28 Feb 2020 13:59 WIB

MUI: Ada Dua Strategi Politik Umat Islam

Yang penting bagaimana substansi politik ini tidak terfragmentasi, sehingga menjadi k

Rep: Fuji E Permana / Red: Agus Yulianto
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan paparan disaksikan Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin dan Wasekjen MUI Amirsyah Tambunan (dari kiri) pada Sidang Pleno Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Kamis (27/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan paparan disaksikan Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin dan Wasekjen MUI Amirsyah Tambunan (dari kiri) pada Sidang Pleno Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Kamis (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, PANGKAL PINANG -- Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VII menyelenggarakan silaturrahim dan tukar pikiran dengan partai-partai politik di Hotel Novotel, Bangka Belitung pada Kamis (27/2) malam. Di sela-sela KUII, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan menyampaikan bahwa ada dua strategi politik umat Islam.  

"Ada dua strategi, pertama strategi kelembagaan, kedua strategi orang per orang. Ketika Ketua Dewan Pertimbangan MUI mengusulkan bahwa sudah saatnya aspirasi umat Islam bisa mempertimbangkan satu partai Islam tunggal, saya kira perlu dipikirkan bersama-sama, sehingga kekuatan umat tidak terfragmentasi pada banyak partai," kata Amirsyah kepada Republika, Jumat (28/2).

Ia mengatakan, yang kedua strategi perorangan. Maksudnya, sejumlah orang atau masyarakat harus diberikan pengetahuan yang kuat agar memahami politik. Supaya pemahaman dan kapasitas politik mereka meningkat.

Supaya mereka juga bisa memberi edukasi dan sosialisasi kepada sesama. Sehingga kekuatan politik umat bisa memperkuat atau melakukan kohesivitas sosial dalam rangka menggalang kekuatan politik. Supaya kekuatan aspirasi politik umat Islam bisa berkembang dengan baik dalam rangka penguatan politik umat dan bangsa secara keseluruhan.

"Karena politik harus menjadi bagian dari umat dan bangsa ini, karena sekarang banyak kita saksikan politik yang bukan menyelesaikan persoalan, tapi justru menambah persoalan," ujarnya.

Dia mencontohkan ketika pemilihan langsung atau pilpres yang masih bersifat prosedural dan belum memberikan solusi terhadap hal yang substansial. Padahal sudah saatnya politik yang bersifat prosedural dibawa ke politik yang sifatnya substansial. 

Jadi, idealnya sistem politik yang prosedural dibawa ke sistem substansial, sehingga politik Indonesia ke depan lebih santun dan beradab. Jangan sampai politik hanya membuat beban biaya yang besar, bahkan membuat banyak limbah politik seperti praktik transaksional dan liberal.

Amirsyah menyampaikan, di KUII perwakilan partai politik membicarakan langkah politik untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik. Caranya, peraturan perundang-undangan harus mengawal wakil rakyat yang lebih mengedepankan kompetensi, profesional, dan integritas. 

Ia menceritakan, kalau KUII ke-I menghasilkan sesuatu untuk mempersatukan kekuatan umat dan melahirkan Masyumi. Tapi, Masyumi mengalami proses sejarah yang kurang menguntungkan. Maka, di KUII ke-VII kalau ada aspirasi membentuk satu partai Islam tunggal untuk menampung aspirasi umat, itu bagus.

"Tapi yang penting bagaimana substansi politik ini tidak terfragmentasi, sehingga menjadi kekuatan. Jangan sampai politik ini justru politik pecah belah kemudian menguasai, politik harus menghimpun kekuatan aspirasi umat menjadi satu kekuatan politik yang diartikulasikan untuk kepentingan umat dan bangsa," ujarnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement