REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI Arsul Sani menilai makna keserentakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilu Serentak masih menimbulkan sejumlah pertanyaan. Putusan MK, dalam pertimbangan hukumnya disebut Arsul mencakup opsi opsi yang bisa dipilih oleh pembentuk UU.
"Kalau saya membaca putusan itu. Saya juga masih boleh bertanya. Tentang makna keserentakan itu, apakah serentak itu dalam arti nyoblosnya hari pencoblosannya harus sama atau proses awalnya yang harus sama," kata Arsul di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Jumat (28/2).
Menurut Arsul, bisa saja, pemilu diselenggarakan serentak dalam arti pengajuan calon anggota DPR RI anggota DPD capres dan cawapres secara bersamaan. Tetapi, kata dia, pelaksanaan pencoblosannya apakah harus bersamaan atau tidak masih menimbulkan pertanyaan.
"Kalau kita maknai bahwa keserentakan itu bisa saja atau dimungkinkan untuk dalam konteks 'prosesnya', maka boleh saja kemudian tidak bersamaan. Bisa saja misalnya DPR-nya dulu, kemudian baru presidennya. Atau presidennya dulu," kata Arsul.
Yang paling penting, lanjut Arsul, dalam proses awalnya ketika tahapan pemilu pencalonan itu dimulai. Masyarakat harus sudah tahu bahwa siapa calon anggota DPR, presiden dan wakil presiden yang akan diusung. Sehingga, tidak ada istilah 'membeli kucing dalam karung'.
"Kan tidak boleh dipisah tadi maknanya keserentakan itu. Apakah pencoblosannya harus hari yang sama. Atau proses memulainya yang sama. Yang serentak itu," ujar Wakil Ketua MPR RI itu.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait pemisahan pemilihan umum (pemilu) antara nasional (Pilpres, Pileg DPR dan DPD) dan lokal (kepala daerah dan DPRD). Permohonan perkara nomor 55/PUU-XVII/2019 itu terkait uji materi Undang-Undang tentang Pemilu dan UU tentang Pilkada.
"Amar putusan, mengadili dalam provisi menolak permohonan provisi pemohon dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).
Dalam pertimbangannya, Anggota Majelis Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, permohonan itu ditolak karena MK tak berwenang menentukan satu desain pemilu, bahkan berpotensi menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Sebab, putusan MK bersifat akhir dan mengikat.
MK juga menyebutkan enam alternatif beberapa model pemilu tanpa mengubah keserentakan pilpres, DPR, dan DPD. Di antaranya model pemilu yang telah dilaksanakan pada Pemilu 2019 lalu, maupun pemilu dengan memisahkan pilpres, DPR, dan DPD dengan pemilihan kepala daerah dan DPRD.