Kamis 27 Feb 2020 16:03 WIB

Filantropi dan Arsitektur Ekonomi Muhammadiyah

Amal usaha yang dikelola Muhammadiyah telah menjelma menjadi korporasi cukup besar.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Logo Muhammadiyah.
Foto: Antara
Logo Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Muhammadiyah akan menjadi salah satu  kekuatan  ekonomi yang diperhitungkan di masa mendatang. Karena, seperti diungkapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir,  Muhammadiyah tidak hanya membangun amal usaha tapi  juga budaya-budaya wirausaha dan kerja produktif.

 

“Kami memiliki semangat berdagang yang ditularkan KH Ahmad Dahlan, dan kredo sedikit bicara, banyak bekerja. Kami ingin membangun  etos baru, lewat dunia kewirausahaan sehingga mampu menghadirkan pembangunan Islam dan bangsa yang semakin lama semakin mandiri,” ujarnya.

Menurutnya, amal usaha yang dikelola Muhammadiyah saat ini telah menjelma menjadi korporasi yang cukup besar. Sehingga  terbuka  peluang untuk bekerja sama dengan berbagai  pihak dalam membangun umat Islam  yang berdaya secara ekonomi serta memiliki kualitas yang strategis.

‘’Muhammadiyah ini satu-satunya organisasi kemasyarakatan yang badan hukumnya seperti holding,’’ tegasnya.

Sementara itu, pandangan orang luar terhadap Muhammadiyah menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Gunawan Budianto, cukup bagus. Katanya, saat ini banyak orang maupun organisasi serta kampus di luar negeri melirik eksistensi Muhammadiyah melalui sejumlah amal usaha.

 

"Orang luar sangat kagum dan mereka berucap bahwa Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang terkaya di dunia," katanya.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, Kewirausahaan dan UMKM, Dr Anwar Abbas mengatakan, Muhammadiyah punya ratusan  perguruan  tinggi,  80  lebih rumah sakit, 13 ribu lebih sekolah, sampai 400 lebih panti asuhan.

Diharapkan pada 2030 sasaran pengembangan ekonomi Muhammadiyah tidak lagi pada pendidikan dan ke­sehatan tapi fokus pada penguasaan kapital. ‘’Kita akan bangun hotel-hotel mewah dan punya maskapai penerbangan. Kita harus fokus menjadi penguasa kapital.’’

Menurut Anwar, semestinya struktur ekonomi di Indonesia mirip seperti ketupat yang mana masyarakat kelas atas dan kelas bawah sama-sama sedikit. Jadi, masyarakat yang ada di kelas menengah yang memang menjadi mayoritas.

Dia mengisahkan, dalam satu acara di Kota Rio De Janeiro, Brazil, pada 1992, para pakar dunia yang bertemu memperkirakan Indonesia akan menjadi bangsa adikuasa 200 tahun mendatang.

Prof Emil Salim yang kala itu hadir mewakili Pemerintah Indonesia kemudian melaporkan prediksi para pakar tadi kepada Prof BJ Habibie. Saat menanggapi hal tersebut, Habibie justru meminta agar dipercepat menjadi 40 tahun mendatang atau 2032.

Potensi zakat

Pada bagian lain, Anwar melihat penduduk Indonesia yang  mayoritas Muslim menjadi salah satu potensi untuk memajukan dunia filantropi.  Ia mengungkapkan, apa saja yang menjadi langkah strategis dalam mewujudkan  ekosistem  filantropi sebagai basis utama  arsitektur  ekonomi Indonesia bakal menjadi salah satu tema penting pembahasan dalam Muktamar Muhammadiyah ke 48 awal Juli 2020 mendatang di Surakarta.

‘’Kondisi sekarang umat Islam yang merupakan mayoritas dengan jumlah 90 persennya, hanya menguasai 10 persen kekayaan negara,’’ kata Anwar, di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (15/2).

Anwar berbicara dalam Seminar Nasional Pra Muktamar bertajuk Kemandirian Ekonomi Berbasis Filantropi: Ekosistem Filantropi dan Arsitektur Ekonomi Muhammadiyah. Selain Anwar, pembicara yang lain adalah Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Prof Bambang Sudibyo, Ketua Pokja Industri Perdesaan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Dr Aries Muftie, Direktur Utama Lazismu, Prof Hilman Latief, dan Rektor UMY Dr Gunawan Budiyanto.

Senada dengan Anwar, Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Prof Bambang Sudibyo meyakini bahwa zakat me­rupakan satu kekuatan besar Indonesia yang belum dimaksimalkan. Padahal, zakat wajib hukumnya, baik menurut syariah maupun undang-undang.

Meski begitu, Bambang memperkirakan tahun ini, akan ada lonjakan pengumpulan zakat dari perkiraan Rp 12,189,34 triliun menjadi Rp 26,189,34 triliun. Artinya, akan ada sekitar Rp 4 triliun kenaikan pengumpulan zakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement