Senin 24 Feb 2020 03:03 WIB

Corona, Ekonomi, dan Ketergantungan Indonesia pada China

Virus Corona juga memberi dampak penurunan ekonomi Indonesia.

Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id
Foto: Republika.co.id
Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*)

Dunia tengah berjuang melawan makhluk mikro yang bebal bernama Covid-19. Kehadirannya sejak Desember 2019 kemarin di Wuhan, China, telah membuat dunia kalang kabut. Bukan hanya karena penyebarannya yang begitu cepat, tetapi juga dampaknya pada keseimbangan perekonomian.

Dunia sudah setengah terguncang dengan perang dagang yang berlarut-larut. Indeks saham merosot dan perekonomian global lesu karena perseteruan Amerika Serikat dan China. Kini, ditambah penyebaran virus corona, indeks semakin merosot karena global penuh ketidakpastian.

Wabah corona membuat penerbangan dari dan ke China terhenti untuk sementara. Akibatnya, pergerakan orang dan barang terganggu. Dampaknya? Ekspor-impor menjadi terganggu pula.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), bahan bakar mineral menjadi komoditas terbesar yang diekspor ke China. Di sisi lain, penghentian impor makanan dari China menyebabkan harga bawang putih meningkat tajam di seluruh daerah.

Namun, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan kalau dampak virus corona belum akan terlihat pada neraca dagang Januari. Pasalnya, isu ini baru mencuat pada awal Januari.

Pada Januari 2020, neraca dagang Indonesia-China mengalami defisit 1,84 miliar dolar AS. Ekspor ke China tercatat 2,24 miliar dolar AS, sementara impor mencapai 4 miliar dolar AS. Dibandingkan Januari tahun sebelumnya, neraca perdagangan dengan China masih dalam taraf baik.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan dampak virus corona sudah dirasakan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Januari. Salah satu indikatornya adalah peneriman bruto pajak di sektor transportasi dan pergudangan, yaitu mengalami kontraksi hinfga 5,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Biasanya, penerimaan ini mengalami pertumbuhan sampai dua digit.

Kontraksi itu terutama dipengaruhi oleh penurunan jumlah kunjungan wisatawan dari China. Sri mengatakan, wisatawan China menyumbang 13 persen dari total wisatawan asing yang datang ke Indonesia setelah Malaysia.

Pelemahan di China akan berdampak ke Indonesia. Satu persen pelemahan ekonomi China akan mendorong pelemahan di Indonesia 0,3 persen sampai 0,6 persen.

Untuk menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan, pemerintah akan mengeluarkan stimulus. Pemerintah juga tengah merancang insentif bagi maskapai untuk menjaga bisnis mereka dari penurunan akibat pembatasan penerbangan ke China.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan untuk menggairahkan perekonomian. Suku bunga 7 day repo rate diturunkan dari 5,0 persen menjadi 4,75 persen. BI bahkan menurunkan proyeksi ekonomi yang semula 5,1 persen sampai 5,5 persen menjadi 5 persen sampai 5,4 persen.

BI sudah sejak tahun lalu terus menurunkan suku bunga acuan, tetapi dampaknya belum begitu terasa terhadap masyarakat. Bunga kredit tetap tinggi, sehingga daya beli masyarakat masih lemah. Lalu strategi apa lagi yang harus dilakukan untuk mendorong ekonomi?

Pengamat mengungkapkan Indoneaia harus mencari negara alternatif tujuan ekspor dan impor selain China. Hal ini bertujuan supaya suplai barang untuk bahan baku industri tetap terjaga. Diversifikasi negara tujuan ekspor dan impor dilakukan agar kita tidak terlalu bergantung pada China.

Lalu, apa yang bisa dilakukan rakyat rebahan seperti kita? Tetap tenang adalah kunci. Semoga wabah corona segera berlalu, dan badai ekonomi bisa segera reda agar pertumbuhan ekonomi bisa kembali meroket seperti yang diharapkan.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement