Ahad 23 Feb 2020 09:38 WIB

Gemar Membaca dan Menulis Dimulai dari Rumah

Membaca membuat kita mengenal dunia, tapi menulis membuat dunia mengenal kita.

Novelis Asma Nadia berpose untuk Harian Republika di sela-sela kegiatan Workhsop Kepenulisan pada gelaran Festival Republik 2019, di Masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Ahad (29/12).
Foto: Thoudy Badai_Republika
Novelis Asma Nadia berpose untuk Harian Republika di sela-sela kegiatan Workhsop Kepenulisan pada gelaran Festival Republik 2019, di Masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Ahad (29/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Banyak yang menganggap kemampuan menulis lahir berdasarkan bakat. Hanya jika memiliki bakatlah, seseorang akan sanggup melahirkan tulisan. Selanjutnya, muncul teori bakat genetika, misalnya bakat dari keturunan atau tumbuh sendiri dalam diri seseorang.

Sebagian menganggap menulis hanya mungkin dilakukan apabila kegiatan tersebut memang menjadi minat yang bersangkutan. Tanpa memiliki minat maka mustahil seseorang bisa menulis atau menghasilkan naskah buku.

Padahal, bakat atau minat meski berperan, bukan yang utama. Cukup banyak penulis yang mengawali kiprah mereka tanpa merasa memiliki bakat sebelumnya, atau bahkan menyukai. Beberapa penulis yang saya temui bahkan tidak mengatakan menulis bagi mereka hanya iseng-iseng berhadiah. Bukan muncul dari minat apalagi merasa berbakat.

photo
Novelis Asma Nadia berpose untuk Harian Republika di sela-sela kegiatan Workhsop Kepenulisan pada gelaran Festival Republik 2019, di Masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Ahad (29/12).

Sebagian pengarang cerita-cerita remaja saat berada dalam satu forum, sempat menuturkan mereka kaget ketika dihubungi penerbit. Pasalnya, ternyata bukan mereka, melainkan teman-temannya yang mengirimkan karya tersebut ke penerbit.

Saya sendiri sejujurnya sampai saat ini tidak termasuk penulis yang merasa memiliki bakat menulis. Namun, saya senang sekali membaca. Berbagai buku karya Putu Widjaya, Arswendo, Hamsad Rangkuti, puisi-puisi Taufiq Ismail, Slamet Sukirnanto, Sapardi, lalu buku-buku Alfred Hitchcock, Agatha Christie, Enid Blyton, Oscar Wild, Anton Chekov dan banyak buku karya penulis lainnya yang saya lahap. Namun, suka membaca tidak langsung membuat saya bisa menulis.

Baru di bangku SMP saya mulai mencoba-coba membuat cerpen. Dengan mesin tik pinjaman, saya menyusun kata demi kata. Berhari-hari mengetik hanya untuk membuat satu cerpen. Tidak mudah, akan tetapi akhirnya selesai juga. Dengan perasaan haru dan terselip rasa bangga bisa berkarya, cerpen tersebut saya perlihatkan ke pelatih teater yang tentu saja mengerti seni. Komentarnya membuat saya menangis. Bukan karena haru melainkan malu bercampur sedih dan putus asa.

“Ini cerita picisan (baca: murahan).”

Hampir tersedak mendengar komentar pertamanya. Meski di akhir kakak tersebut melanjutkan dengan komentar yang lebih menyemangati,

“Kamu harusnya bisa lebih bagus dari ini!”

Tapi saya telanjur patah hati dengan dunia tulis-menulis. Hari itu saya tahu bahwa saya tidak memiliki bakat dalam menulis dan memutuskan tidak pernah menulis lagi.

Memasuki jenjang SMA, kakak saya, Helvy Tiana Rosa meminta saya menulis. Saya katakan apa yang tertanam dalam keyakinan,

“Saya tidak berbakat.”

Barangkali saya akan memercayai dan berpegang pada keyakinan itu hingga nama Asma Nadia selamanya tak terbit di ranah kepenulisan jika kakak saya mengaminkan. Syukurlah dia tidak berhenti menyemangati.

“Dek, kita butuh banyak penulis perempuan yang menulis dengan semangat mencerahkan.”

Menurut dia, saat itu dunia kepenulisan didominasi pengarang lelaki, sementara pengarang perempuan yang ada tak semua memiliki misi menulis untuk menyebar kebaikan.

photo
Asma Nadia (kiri) dan Helvy Tiana Rosa.

Sugesti yang diembuskan mampu membuat saya pelan-pelan meraih pena lagi. Kakak saya pun berangsur mulai mengomentari tulisan yang saya buat, dan mendorong saya berani mengirimkan karya ke media, baik majalah, koran, maupun penerbit.

Dari sana, tiba-tiba saya yang awalnya tak merasa berbakat dan tak terlalu berminat akan dunia kepenulisan sedikit demi sedikit mulai memperbaiki diri. Hingga akhirnya, beberapa karya dimuat di majalah bahkan memenangkan berbagai lomba.

Dua puluh tahun lalu, buku pertama saya diterbitkan, alhamdulillah bulan ini baru saja menyelesaikan karya ke-59 bertajuk Sehidup Sesurga Denganmu. Alhamdulillah, hampir seluruh buku yang diterbitkan mengalami cetak ulang dan cukup banyak meraih penjualan terbaik di Indonesia. Sepuluh di antaranya sudah diangkat ke layar lebar.

Sedikit cuplikan perjalanan ini semoga menyemangati siapa saja yang ingin terjun di dunia kepenulisan, tapi merasa tidak berbakat atau tidak terlalu berminat. Percayalah tekad yang diikuti usaha sungguh-sungguh dan dengan terus menambah wawasan bacaan, insya Allah akan memberi jalan. Hal lain yang memotivasi saya saat itu adalah tanggung jawab sebagai muslimah, untuk menyediakan buku-buku baik yang memiliki pesan dan ‘halal’, insya Allah dibaca siapa saja.

Lalu, bagaimana dengan anak-anak?

Putri Salsa sudah menulis sekitar 13 buku, sendiri dan antologi, sejak sekolah dasar, sementara adiknya Adam Putra Firdaus belakangan merengek minta diajari menulis dan di kelas tiga atau empat SD sudah memiliki dua buku dan beberapa antologi bersama.

Apakah mereka mengandalkan bakat?

Putri Salsa memang suka membaca sejak berusia empat tahun, tapi dia tidak pernah menulis cerpen apalagi buku. Hingga suatu hari, kami mengajaknya mengikuti lomba menulis surat untuk presiden bersama sepupunya, Faiz, anak dari Helvy. Sang sepupu menjadi juara satu dan dia meraih juara harapan I. Tahun berikutnya, Salsa tertantang mengikuti kembali lomba yang sama dan berhasil menjadi juara satu.

Tak lama berselang, sang sepupu mempunyai buku yang diterbitkan. Editor penerbit yang sama lalu menantang Putri Salsa untuk menulis. Pulang ke rumah, dia dengan semangat minta diajari menulis dan terus mengulang kalimat,

“Kalo Faiz bisa aku pasti bisa.”

Usia si sulung tujuh tahun saat buku pertamanya diterbitkan Mizan. Berikutnya, Salsa mempunyai buku dan selanjutnya bertambah lagi dan terus bertambah hingga bersaing dengan sepupunya. Iklim kompetitif membuat Salsa menjadi penulis.

photo
Novelis Asma Nadia berpose untuk Harian Republika di sela-sela kegiatan Workhsop Kepenulisan pada gelaran Festival Republik 2019, di Masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Ahad (29/12).

Lalu, suami saya, Isa Alamsyah, termasuk yang terlambat jadi penulis. Pada usia 35 tahun baru menulis buku. Awalnya juga tidak sengaja, beliau lebih dulu berkecimpung di dunia jurnalistik dan bekerja di berbagai media asing. Setelah berhenti, akhirnya menulis. Diawali ketertarikan akan bisnis multi-marketing, ia menulis banyak cerita motivasi untuk jaringannya. Lalu banyak anggota dari jaringan lain tertarik dengan tulisannya hingga akhirnya ia menerbitkan buku. Kini lebih dari 50 buku telah ditulisnya.

Dari semula sama sekali tidak tahu bagaimana menulis, lama kelamaan Isa Alamsyah menjadi terampil hingga mendirikan Komunitas Bisa Menulis, grup di Facebook yang kini beranggotakan lebih dari 840 ribu orang. Salah satu forum kepenulisan daring yang terbesar di dunia.

Bukan bakat, bukan minat, melainkan tuntutan usaha yang membuat suami menjadi penulis. Dan Adam adalah yang terakhir. Bungsu kami awalnya tidak suka membaca, apalagi menulis. Sejak kecil ia hanya suka sepak bola, mobil-mobilan, dan olahraga.

Kami harus bekerja keras untuk membuat Adam mencintai kegiatan membaca, hingga akhirnya menemukan cara. Tapi gemar membaca tidak membuat Adam menjadi penulis. Justru karena merasa tidak kompak dengan anggota keluarga lain –yang penulislah yang membuat si bungsu ingin juga mempunyai buku.

Mungkin jika boleh diambil kesimpulan sederhana, lingkungan adalah kunci penting untuk mendorong seseorang menjadi penulis. Orang tua saya membangun atmosfer suka baca pada saya dan kakak. Lalu kakak memberi atmosfer menulis pada saya. Berikutnya, saya dan suami membuat atmosfer suka membaca dan menulis di rumah.

Rabu 26 Februari 2020 yang akan datang saya, suami, Adam dan Salsa -sekeluarga penulis- akan menghadiri IBF untuk peluncuran buku masing-masing. Saya merilis buku Bidadari Berbisik, ayah Isa Alamsyah merilis novel politik: Tuhan, Kenapa Kau Memberiku Wajah Ini?. Sementara Putri Salsa menyajikan buku remaja bertajuk Fallen for you dan Adam merilis buku Anak Penangkap Hantu. Kesemuanya diterbitkan Penerbit Republika.

Saya tidak tahu, apakah ini pertama kali di Indonesia satu keluarga masing-masing berada satu panggung dan merilis buku bersamaan? Bukan sekadar bakat, atau kerja keras, bagi kami ini juga bentuk kebaikan Allah. Hanya dengan izinnya perjalanan panjang membangun atmosfer kepenulisan berbuah karya. Semoga upaya berbagi nanti di panggung utama Islamic Book Fair, bisa menggaungkan kembali semangat berikut ini: Membaca membuat kita mengenal dunia, tapi menulis membuat dunia mengenal kita.

Salam Literasi!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement