Jumat 21 Feb 2020 20:51 WIB

Revitalisasi TIM, DKJ Inginkan Ekosistem Seni Berkelanjutan

Dewan Kesenian Jakarta menekankan kawasan TIM merupakan area sejarah berkesenian

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Pekerja membongkar gedung menggunakan alat berat di lokasi proyek revitalisasi kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, Jumat (7/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pekerja membongkar gedung menggunakan alat berat di lokasi proyek revitalisasi kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, Jumat (7/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ikut bersuara ditengah penolakan sebagian politisi dan seniman terkait proyek Revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. DKJ menekankan kawasan TIM merupakan area sejarah berkesenian di Jakarta, karena itu penting bagi Pemprov DKI Jakarta dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) sebagai pelaksana proyek.

Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DKJ Danton Sihombing mengakui dalam proses revitalisasi TIM ini komunikasi ke publik oleh Pemperov DKI dan Jakpro memang kurang optimal. Akibatnya persepsi publik, termasuk para seniman lebih condong pada aspek emosional dan disisipkan pada oportunisme politik yang kental.

Baca Juga

Danton mengungkapkan DKJ mendukung sikap kritis dan ekspresi para seniman kepada Pemprov DKI dan Jakpro, namun di sisi lain DKJ melihat kawasan TIM yang memiliki sejarah seni di Jakarta, perlu mendapatkan pembangunan fisik yang lebih baik. Menurut dia, DKJ merasa perlu lebih aktif menyampaikan kepada publik tentang proses pembangunan TIM yang baru.

"Berpijak pada sebuah paradigma pembangunan ekosistem kesenian, Jakarta sebagai kota modern perlu meningkatkan fasilitas kota seni bertaraf internasional," kata Danton, Jumat (21/2). Paradigma tersebut, jelas dia, diwujudkan dalam program penciptaan berbagai platform berkesenian, sebagai aspek pembangunan ekosistem seni di kawasann TIM yang baru.

Danton menyadari TIM memiliki dua sisi, yakni Intangible dan Tangible asset. Intangible asset adalah sebuah lahan dan sekpulan bangunan yang memiliki unsur sejarah, karena komplek area TIM ini pada masa kolonial merupakan halaman rumah pelukis modern Indonesia, Raden Saleh. Dan dalam perjalanannya ekosistem ini diteruskan oleh para seniman kontemporer Indonesia, baik era 70an hingga 90an.

Sedangkan dari faktor Tangible asset, jelas dia, dalam perjalanan waktu sarana prasarana bangunan fisik di kawasan TIM, membutuhkan perbaikan, baik secara kualitas maupun kuantitas. "Akustik dan fasilitas tempat duduk, serta kualitas panggung di Graha Bhakti Budaya, misalnya sudah tak memadai untuk kebutuhan para pelaku seni," ujarnya.

Ia menyontohkan ruang pameran di Galeri II dan III tak lagi mampu menampung perkembangan seni kontemporer yang tak lagi terpaku pada lukisan di atas kanvas. Atau patung-patung pahatan di atas batu dan kayu. Karena sudah merambah ke wilayah teknologi dalam karya instalasi. Salah satu aspek lain yang juga penting, menurut dia, permasalahan arsip seni DKJ.

"Ketiadaan penyimpanan serta preservasi koleksi lukisan tonggak seni modern Asia Tenggara milik DKJ dan Unit Pelaksana TIM. Dalam kata lain, belum ada ruang penyimpanan dan preservasi produk seni yang layak," jelasnya.

Karena itu, menurutnya masalah yang paling penting saat ini adalah bagaimana mengawal proyek pembaharuan infrastruktur kesenian TIM. Agar setelah revitalisasi, TIM tetap memenuhi visi dan kebutuhan para seniman, dan bagaimana pengelolaan TIM baru bisa tetap membangun ekosistem seni dan penciptaan seni di Jakarta yang berkelanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement