REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengkritisi adanya aturan di dalam omnibus law cipta kerja yang mengatur soal pers. Menurutnya pemerintah tidak dapat memisahkan antara media sebagai industri dan media sebagai pilar demokrasi.
"Ada kecendurang pemerintah membatasi kebebasan pers sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang terdahulu, sehingga mengesankan pemerintah hanya berpihak pada elit ekonomi dan itu buruk bagi publik," katanya Dedi, Kamis (20/2).
Menurutnya, omnibus law cipta kerja berpotensi besar menciptakan pemerintahan otoriter dan memicu produk hukum yang tidak bekelanjutan, sehingga hanya menguntungkan elit ekonomi tanpa mementingkan publik. Dengan karakter itu, pemerintah mereplikasi orde baru.
"Pemerintah harus memisahkan Pers dengan industri, tidak dapat menghukumi Pers hanya dari sisi industri. Meski perusahaan Pers berorientasi pada bisnis, tetapi produk yang dihasilkan bukanlah produk kapital, dan pemerintah seharusnya menjaga agar pers hidup dalam nuansa demokrasi kita," tuturnya.
Selain itu, ia juga menanggapi klaim menkominfo yang mengaku tidak mengusulkan pasal tersebut. Menurutnya sinergitas dan koordinasi antarkementerian dalam internal pemerintah tidak terjalin dengan baik.
"Persoalan presiden sejak periode lalu adalah inkoordinasi, sehingga sering terjadi kesimpangsiuran informasi. Tetapi, bisa saja itu hanya dalih kementrian cuci tangan karena tahu produk omnibus law ciptaker buruk. Karena tidak mungkin produk hukum sekrusial ini tidak diketahui oleh kementrian relevan," ujarnya.