Selasa 18 Feb 2020 14:26 WIB

Informasi Baik dan Lelucon tentang Corona

Sembunyikan informasi yang benar dan hanya menyebar informasi baik sangat berbahaya.

Esthi Maharani
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*)

Sejak wabah virus corona menyeruak, banyak negara bersiaga. Apalagi ketika satu per satu ditemukan warga di luar China yang terjangkit virus tersebut. Di Indonesia, adanya wabah virus corona ditanggapi agak biasa saja bahkan cenderung santai dan dijadikan bahan lelucon.

Sudah banyak berseliweran di media sosial, virus corona di Indonesia dianggap tidak berharga. Wabah itu dianggap terlalu sepele dibandingkan penyakit lokal yang sedari awal sudah mematikan. Ada meme yang mengena buat saya. Meme tersebut menggambarkan virus corona yang hendak datang ke Indonesia, tapi dihalangi oleh para monster virus dan penyakit yang sudah besar di tanah air seperti DBD, tipes, malaria, TBC, dan masuk angin. Penyakit ala Indonesia itu sepakat mengusir virus corona dan mengatakan: cari makan ditempat lain sana!!!

Belum lagi candaan yang menyebut bahwa apapun penyakitnya, Indonesia punya survival kit ampuh. Yakni cairan pereda masuk angin alias tolak angin, mie instan, vitamin c, dan minyak kayu putih. Ini benar-benar terjadi ketika KBRI Tokyo pada 12 Februari lalu mengantar cairan pereda masuk angin, mie instan dan vitamin C untuk WNI dari atas kapal Diamond Princess yang sedang dikarantina untuk observasi di Yokohama.

Walau Indonesia kelihatannya sesantuy itu, saya cukup yakin ada orang-orang yang khawatir virus itu sampai ke tanah air. Indonesia sepatutnya juga ikut benar-benar siaga karena banyak pintu masuk ke Indonesia yang seringkali tidak terdeteksi. Apalagi sebaran virus corona sudah sangat luas dan memakan korban hingga ribuan orang.

Menurut data pada 16 Februari, 100 orang tercatat meninggal dunia di Hubei karena virus korona. Sementara itu, sebanyak 1.933 kasus baru telah dilaporkan. Jumlah resmi kasus virus korona di Hubei saat ini mencapai 58.182 dengan 1.692 kematian. Sebagian besar kasus dan kematian baru dilaporkan berada di Wuhan.

Saya sendiri sebenarnya khawatir virus corona sudah ada di tanah air. Saya juga menjadi kubu yang ragu apakah pemerintah benar-benar bisa mendeteksi keberadaan virus corona. Yang lebih saya khawatirkan adalah informasi tentang corona yang bisa saja disembunyikan dengan alasan agar tidak menimbulkan kepanikan.

Apalagi kalau melihat gelagat pemerintah dan pejabat yang mengharapkan hanya informasi baik yang disebar ke masyarakat. Misalnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny H. Plate yang mengatakan yang pertama kali perlu didahulukan bukanlah informasi yang benar, tetapi yang baik.

“Hal-hal yang benar dan baiklah yang perlu ditransmisikan kepada masyarakat. Ini demi kepentingan masyarakat, demi kepentingan negara,” katanya pada 10 Desember 2019.

Bahkan Presiden Joko Widodo pun meminta agar informasi yang disebar di masyarakat adalah informasi yang baik-baik saja. Pada 9 Februari 2020, lewat Instagram dan Twitter-nya Jokowi menulis:

“Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mendapatkan informasi yang sehat dan baik. Informasi yang baik memerlukan jurnalisme dan ekosistem yang baik. Negara membutuhkan kehadiran pers dengan perspektif jernihnya untuk berdiri di depan melawan kekacauan informasi, penyebaran hoaks, dan ujaran kebencian yang mengancam kehidupan demokrasi. Yang mewartakan berita baik dan agenda-agenda besar bangsa Indonesia. Membangkitkan semangat positif yang mendorong produktivitas dan optimisme bangsa”.

Padahal membuka informasi seluas-luasnya untuk wabah yang berbahaya seperti corona seharusnya masif dilakukan. Bukan soal berita baik-buruk atau mencegah kepanikan, tetapi masyarakat juga butuh fakta agar mereka bisa mengantisipasi dan bertindak cepat dan tepat di masa depan.

Pemerintah China telah memberikan pelajaran berharga ketika dr Li Wenliang meninggal dunia karena terjangkit virus corona. Ia adalah orang pertama yang memperingatkan ke sesama petugas kesehatan agar berhati-hati menangani virus corona. Tetapi, pemerintah justru memintanya berhenti “membuat komentar palsu”. Akibat informasi yang ditekan itu, wabah semakin menyebar ke seluruh dunia. Jika respons atas peringatan darurat kesehatan yang berbahaya adalah dengan mengerahkan polisi dan meminta orang yang mengeluarkan peringatan untuk tutup mulut, maka jelas ada yang salah.

Dari situ, Indonesia seharusnya belajar bahwa menutup atau menyembunyikan informasi bisa berakibat fatal.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement