Senin 17 Feb 2020 18:07 WIB

Tarik Ulur Kebiasaan Makan Hewan Liar di China

Kebiasaan makan hewan liar di China diduga menjadi pencetus corona.

Pekerja medis mengecek kondisi pasien di RS Jinyintan di Wuhan, Hubei, yang dibangun khusus untuk pasien kritis virus corona jenis baru atau Covid-19, Kamis (13/2). Kebiasaan konsumsi hewan liar di China diduga menjadi salah satu penyebab penyebaran infeksi corona ke manusia.
Foto: AP
Pekerja medis mengecek kondisi pasien di RS Jinyintan di Wuhan, Hubei, yang dibangun khusus untuk pasien kritis virus corona jenis baru atau Covid-19, Kamis (13/2). Kebiasaan konsumsi hewan liar di China diduga menjadi salah satu penyebab penyebaran infeksi corona ke manusia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwina Agustin, Fergi Nadira, Antara

Polisi China telah menggerebek rumah, restoran, dan pasar darurat di seluruh negeri selama dua pekan terakhir. Operasi ini menangkap hampir 700 orang karena melanggar larangan sementara menangkap, menjual, atau memakan hewan liar.

Baca Juga

Penangkapan ini pun telah menjaring hampir 40.000 hewan, termasuk tupai, musang, dan babi hutan. Warga China masih mengonsumsi satwa liar dan menggunakan beberapa bagian hewan untuk tujuan pengobatan meski dibayangi virus corona.

Para pedagang yang secara legal menjual keledai, anjing, rusa, buaya, dan daging lainnya berencana untuk kembali ke bisnis begitu pasar dibuka kembali. "Saya ingin menjual begitu larangan dicabut," kata Gong Jian yang mengelola toko margasatwa secara daring dan mengoperasikan toko-toko di wilayah otonomi Mongolia Dalam, China.

Minat ini tidak bisa diputus hanya dalam waktu satu malam. Meski para ilmuwan menduga bahwa virus corona jenis baru yang muncul di Wuhan diturunkan ke manusia dari kelelawar melalui trenggiling, mamalia kecil pemakan semut yang sisiknya sangat berharga dalam pengobatan tradisional China.

"Di mata banyak orang, hewan hidup untuk manusia, tidak berbagi bumi dengan manusia," kata pensiunan peneliti Zoologi di Chinese Academy of Sciences Wang Song.

Banyak akademisi, pencinta lingkungan, dan penduduk di China telah bergabung dengan kelompok konservasi internasional dalam menyerukan larangan permanen perdagangan satwa liar dan penutupan pasar hewan liar dijual. Mereka yang bergerak dalam agenda itu mayoritas adalah anak muda.

"Satu kebiasaan buruk adalah kita berani makan apa pun. Kita harus berhenti makan satwa liar dan mereka yang melakukannya harus dijatuhi hukuman penjara," kata seorang komentator bernama Sun di forum diskusi berita di situs web China, Sina.

Tapi, pembiakan dan perdagangan hewan liar di China mendapatkan dukungan dari pemerintah. Industri ini pun tumbuh dan menjadi sumber keuntungan buat banyak pihak.

Setelah wabah Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS), Administrasi Kehutanan dan Padang Rumput Nasional (NFGA) memperkuat pengawasan terhadap bisnis margasatwa. Lembaga ini melisensikan pertanian legal dan penjualan 54 hewan liar termasuk musang, kura-kura dan buaya.

photo
Seorang pekerja mengenakan pakaian Hazmat (Hazardous Material Suit) di sebuah pasar ikan yang ditutup di Wuhan, Provinsi Hubei, China, Kamis (23/1).

NFGA pun memberikan izin perkembangbiakan yang disetujui untuk spesies langka, seperti beruang, harimau dan trenggiling untuk tujuan lingkungan atau konservasi. Menurut laporan pemerintah tahun 2015, operasi pertanian satwa liar yang disetujui secara resmi ini menghasilkan sekitar 20 miliar dolar Amerika Serikat per tahun.

"Biro kehutanan negara telah lama menjadi kekuatan utama yang mendukung penggunaan satwa liar. Ini menegaskan hak China untuk menggunakan sumber daya alam liar untuk tujuan pembangunan," kata Spesialis Kebijakan Tiongkok untuk Masyarakat Manusia Internasional Peter Li.

Sebagian besar pertanian dan penjualan satwa liar terjadi di daerah pedesaan atau kawasan miskin di bawah restu pemerintah daerah. Perdagangan ini dipandang sebagai pendorong perekonomian lokal. Program televisi yang didukung pemerintah secara teratur menunjukkan orang-orang memelihara hewan, termasuk tikus, untuk penjualan komersial dan konsumsi pribadi.

Produk-produk hewani, mulai dari empedu beruang hingga sisik trenggiling, masih digunakan dalam beberapa pengobatan tradisional China. Bahkan industri ini ingin diperluas oleh China sebagai bagian dari Inisiatif Belt and Road atau inisiatif pembangunan global pemerintah.

Tapi, perbedaan antara legal dan ilegal menjadi kabur. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan perdagangan ilegal satwa liar global bernilai sekitar 23 miliar dolar AS per tahun dan China adalah pasar terbesar, dikutip dari Reuters.

Trenggiling disebut sebagai hewan yang berpotensi menjadi perantara penginfeksi virus corona ke manusia. Hewan ini juga memiliki virus corona sendiri dan virus sendai. Hal ini diungkapkan peneliti mikrobiologi Sugiyono Saputra.

"Trenggiling memang inang atau tempat virus corona. Ada analisis viral metagenomic dari trenggiling bahwa virus corona itu termasuk yang dominan bersama juga virus sendai," kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu ketika dihubungi dari Jakarta pada Kamis (13/2).

Sampai saat ini keberadaan kedua virus itu di trenggiling masih belum diketahui efek sampingnya untuk hewan inangnya. Bisa saja, kata Sugiyono, adanya virus corona dan sendai mungkin bisa menyebabkan penyakit di hewan terancam punah itu atau bisa juga menyebabkan kondisi sub-klinis artinya tidak menimbulkan gejala.

South China Agricultural University menyampaikan hasil penelitian terbaru mereka yang menyimpulkan urutan genom virus corona dari trenggiling dalam penelitian 99 persen identik dengan yang diambil dari pasien yang terinfeksi.

photo
Hewan Trenggiling diduga menjadi inang perantara corona ke manusia.

Peneliti menyimpulkan trenggiling kemungkinan menjadi inang perantara yang memungkinkan infeksi terhadap manusia setelah mendapatkannya dari kelelawar sebagai inang utama.

"Asumsinya bisa jadi memang ada re-kombinasi antara virus yang dari kelelawar dengan yang ada di trenggiling itu. Terus mengalami mutasi sehingga akhirnya bisa menginfeksi manusia. Itu masih berupa kemungkinan-kemungkinan," kata dia.

Provinsi Hubei di China yang menjadi pusat wabah virus Corona mencatatkan 1.933 kasus serta 100 kematian baru pada Ahad (16/2). Demikian diungkapkan otoritas kesehatan pada Senin (17/2).

Jumlah kasus naik hampir lima persen dari hari sebelumnya. Namun jumlah kematian turun dari 139 pada Sabtu. Hampir 90 kasus baru berada di Ibu Kota Wuhan, yang diyakini menjadi lokasi munculnya virus Corona.

Komisi Kesehatan Hubei menyebutkan jumlah total kasus di provinsi itu mencapai 58.182 dengan 1.696 kematian hingga Ahad. Wuhan menyumbang 71 persen kasus dan 77 persen kematian virus Corona di provinsi Hubei.

Taiwan melaporkan kematian pertama dari virus Corona pada Ahad (16/2) waktu setempat. Seorang pria berusia 61 tahun dari Taiwan memiliki masalah kesehatan yang mendasarinya sebelumnya.

Namun, ia tidak ada riwayat perjalanan luar negeri baru-baru ini. Dia dinyatakan meninggal di rumah sakit pada Sabtu setelah tes positif virus corona tipe baru.

Laporan itu adalah kematian kelima yang tercatat di luar China daratan. Seperti diketahui, korban meninggal sebelumnya berada di Filipina, Hong Kong, Jepang, dan Prancis.

"Kasus terakhir ini adalah sopir taksi yang tidak berlisensi. Klien utamanya adalah orang-orang yang pernah ke China, Hong Kong, dan Makau," kata Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Taiwan Chen Shih-chung dikutip Channel News Asia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement