Senin 17 Feb 2020 17:52 WIB

Omnibus Law Ditolak Pekerja, Menaker: Ruang Dialog Terbuka

Menaker menyebut memiliki tim untuk sosialisasi omnibus law.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah
Foto: Republika/Ali Mansur
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Ketenegakerjaan Ida Fauziah menegaskan bahwa ruang dialog bagi buruh masih terbuka lebar. Ida menanggapi gelombang penolakan yang terus mengalir terhadap penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR.

Ida mengungkapkan, pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk secara masif melakukan sosialisasi omnibus law cipta kerja kepada seluruh pemangkut kepentingan, termasuk kepada buruh melalui seluruh perserikatan. Bahkan Ida mengaku sudah memiliki tim sosialisasi yang terdiri dari tiga pihak, yakni pemerintah, pengusaha, dan pekerja atau buruh.

Baca Juga

"Tim ini di samping lakukan sosialisasi, tim ini juga membahas tentang substansi termasuk sampai menyiapkan bersama-sama membahas, menyiapkan, peraturan teknis perintah dari UU. Ruang dialog masih terbuka," ujar Ida di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (17/2).

Ida pun menepis anggapan bahwa RUU Ketenagakerjaan melalui omnibus law cipta kerja hanya memihak pada pengusaha saja. Ia menekankan bahwa pemerintah berusaha menyeimbangkan antara kepentingan buruh dan pengusaha.

"Kalau masih ada keberatan, ruang itu masih terbuka untuk dialog. Bahkan tim yang saya ceritakan tadi, teman-teman dari tripartit bisa membahas substansi itu," katanya lagi.

Ida bahkan mengaku memberi waktu kepada serikat pekerja dan buruh yang masih menolak sejumlah pasal di Omnibus Law Cipta Kerja. Ia pun memaklumi bahwa ada miskomunikasi antara pihak pekerja dan pemerintah terkait sejumlah pasal kontroversi. Menurutnya, yang terpenting adalah menjaga komunikasi antara tiga pihak, pemerintah, pengusaha, dan pekerja, terus berjalan dalam pembahasan omnibus law ini.

"Kalau ada yang menolak, kami tunggu sampai bisa bergabung lagi. Sampai hari apa, memang ada satu yang menolak. Namun kami harap teman-teman buruh masuk. Pikiran dan gagasan bisa didalogkan di dalam," katanya.

Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan merugikan para kelas pekerja. Maka dari itu, mereka meminta DPR untuk mengkritisi bahkan membatalkan RUU tersebut.

"Khususnya klaster ketenagakerjaan dan semua yang berhubungan dengan ketenagakerjaan," ujar Presiden KSPI Said Iqbal saat dikonfirmasi, Senin (17/2).

Sebelumnya, Said menjelaskan, draf salinan resmi RUU Cipta Kerja menghapus upah minimum kabupaten dan kota serta menggunakan upah minimun provinsi. Padahal, seluruh daerah, kecuali DKI Jakarta dan Yogyakarta, mengacu kepada upah minimum kabupaten kabupaten kota. Upah minimun provinsi tidak dipakai dan angka acuannya juga jauh lebih kecil.

RUU Cipta Kerja juga mengenal istilah upah per satuan waktu atau upah per jam. Dibayarnya pekerja berdasarkan jam kerja maka secara nyata menghilangkan upah minimum per bulan yang selama ini digunakan.

KSPI kemudian menyoroti hilangnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU itu, diatur tentang sanksi bagi pengusaha yang tidak membayar upah sesuai upah minimum. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement