Senin 17 Feb 2020 16:25 WIB

IPM Naik, Kesenjangan Masih Jadi Tantangan

IPM mengukur keberhasilan dalam membangun kualitas hidup manusia.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Kondisi tumpukan sampah dengan latar gedung - gedung di penampungan barang rongsok Kampung Gasong, Menteng Pulo, Jakarta, Selasa (17/12). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sepanjang 2019 mencapai 71,92. Di sisi lain, BPS mencatat kesenjangan antarprovinsi masih tinggi.
Foto: Thoudy Badai_Republika
Kondisi tumpukan sampah dengan latar gedung - gedung di penampungan barang rongsok Kampung Gasong, Menteng Pulo, Jakarta, Selasa (17/12). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sepanjang 2019 mencapai 71,92. Di sisi lain, BPS mencatat kesenjangan antarprovinsi masih tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sepanjang 2019 mencapai 71,92 atau naik dibandingkan 2018 yang sebesar 71,39. Artinya, tingkat pembangunan manusia Indonesia terus mengalami perbaikan kualitas.

Tapi, nilai ini masih di bawah target pemerintah yang tercantum dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, yakni 71,98. Selain itu, disparitas atau kesenjangan antar kabupaten/kota dalam provinsi masih tinggi.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, peningkatan IPM pada tahun lalu disebabkan peningkatan pada semua komponen pembentuk indeks. "Ini progress menggembirakan. Ke depannya, pemerintah berupaya terus supaya IPM ini terus meningkat dari waktu ke waktu," ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (17/2).

Suhariyanto menjelaskan, IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat atau penduduk). Lebih detail, IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Pertumbuhan paling menonjol terlihat pada komponen pengeluaran per kapita yang pada 2019 tumbuh 2,17 persen dibandingkan 2018. Dari semula Rp 11,05 juta per tahun menjadi Rp 11,29 juta per tahun.

Sementara itu, umur harapan hidup saat lahir/UHH juga meningkat 0,20 persen dari 71,20 tahun menjadi 71,34 tahun. Harapan lama sekolah/ HLS pun naik 0,31 persen dari 12,91 tahun ke 12,95 persen. Terakhir, komponen rata-rata lama sekolah naik 2,08 persen, dari 8,17 tahun menjadi 8,34 tahun.

Poin lain yang turut menggembirakan, kata Suhariyanto, adalah kenaikan status IPM satu provinsi, yakni Sumatera Selatan. Daerah ini ‘naik kelas’ dari IPM dengan status sedang menjadi tinggi pada tahun lalu, tepatnya dari 69,39 menjadi 70,02.

Apabila dilihat secara provinsi, DKI Jakarta masih tercatat dengan nilai IPM tertinggi, yaitu 80,76, dan bahkan menjadi satu-satunya provinsi yang masuk kategori sangat tinggi. Meskipun, secara laju, DKI Jakarta mengalami pertumbuhan IPM terendah, yakni 0,36 persen.

Suhariyanto menuturkan, kondisi ini dapat dipahami karena provinsi dengan IPM tertinggi biasanya akan sulit untuk tumbuh dengan kecepatan tinggi. Begitupun sebaliknya, provinsi dengan IPM lebih rendah justru dapat melaju lebih cepat. 

"Misalnya, Papua Barat (IPM: 64,70), dapat tumbuh hingga 1,51 persen dari 2018 ke 2019," katanya.

Terlepas dari pertumbuhan dan pergerakan positif ini, Suhariyanto menekankan, salah satu persoalan yang harus dihadapi saat ini adalah disparitas. Di level kabupaten/kota lintas provinsi, tingkat kesenjangannya masih tinggi. "Ini jadi tantangan besar kita karena masalah geografis dan sebagainya," ujarnya.

Suhariyanto memberikan contoh Kota Yogyakarta, Yogyakarta dan Kabupaten Nduga, Papua. Sementara IPM di Kota Yogyakarta naik 86,65, IPM Kabupaten Nduga hanya 30,75.

Tidak hanya lintas provinsi, disparitas antar kabupaten/kota dalam provinsi juga masih tinggi. Misalnya, Suhariyanto menuturkan, antara Kabupaten Nduga dan Kota Jayapura yang memiliki IPM 80,16.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement