REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses penetapan kehalalan produk-produk yang beredar di Indonesia masuk dalam rancangan Omnibus Law alias RUU Cipta Kerja. Regulasi itu masuk klaster soal permudahan perizinan usaha. Apa saja bagian Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang diubah?
Secara garis besar, RUU Ciptaker membuat sejumlah perubahan signifikan pada UU JPH. Di antaranya soal kemudahan bagi pelaku usaha mikro dan kecil, pelibatan ormas Islam berbadan hukum dalam proses sertifikasi halal, pemangkasan jangka waktu pengajuan dan proses sertifikasi halal, serta pengubahan sejumlah sanksi terkait regulasi itu.
Berikut rinciannya seturut penelusuran Republika.
Salah satu yang paling kentara, adalah penambahan pasal baru yang diselipkan di antara Pasal 4 dan Pasal 5 UU JPH. Pada pasa 4A ayat 1, diatur bahwa kewajiban bersertifkat halal untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK) didasarkan pada "pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil".
Kemudian pada Pasal 4A ayat 2, diatur bahwa "Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal)".
Perubahan signifikan selanjutkan terdapat pada perubahan Pasal 7. Pada UU JPH, dalam melaksanakan kewenangannya BPJPH hanya bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan dalam RUU Ciptaker aturan barunya adalah, "Ormas Islam yang berbadan hukum" juga jadi pihak yang bisa diajak kerja sama BPJPH.
LPPOM MUI (ilustrasi)
Pada revisi pasal-pasal UU JPH selanjutnya dalam RUU Ciptaker, ormas Islam dan MUI akan dilibatkan mengeluarkan fatwa hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk (Pasal 32), kemudian penetapan fatwa kehalalan produk (Pasal 33). Dalam UU JPH, sidang fatwa halal itu hanya bisa dilakukan MUI.
Sedangkan pada revisi Pasal 10 ayat 1 UU JPH dalam RUU Ciptaker, ada sejumlah sektor kerja sama BPJPH dengan MUI pada UU JPH yang dihilangkan. Di antaranya, penerbitan "sertifikasi auditor halal", dan "akreditasi LPH". Kerja sama dengan MUI dan ormas Islam dalam RUU Ciptaker (perubahan Pasal 10 ayat 1 dan 2) hanya pada "penetapan kehalalan produk" dan penerbitan "Keputusan Penetapan Halal Produk".
Kemudian pada revisi Pasal 13 ayat 1 UU JPH, syarat mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) adalah "memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya, "memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 orang", dan "memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboraturiom". Syarat "akreditasi dari BPJPH" yang tercantum dalam pasal yang sama pada UU JPH dihilangkan.
Pasal 14 pada UU JPH tentang pengangkatan auditor halal oleh LPH, kemudian syarat-syarat auditor halal (WNI; Islam; pendidikan tinggi di bidang teknologi industri, biologi, atau farmasi; memiliki pemahaman mendalam soal kehalalan sesuai syariat Islam; mendahulukan kepentingan umat; dan memeroleh sertifikat MUI) seluruhnya dihapuskan. Dalam RUU Ciptaker, persoalan ini akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah.
Dalam UU JPH, lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal (PPH) harus dipisahkan dengan unsur-unsur najis dan nonhalal. Sanksinya jika dilanggar adalah peringatan tertulis atau denda administratif (Pasal 22). Sanksi yang rigid itu dalam UU Ciptaker dihapuskan, dan akan diatur selanjutnya melalui peraturan pemerintah.
Dalam UU JPH, diwajibkan juga bagi perusahaan menyediakan Penyelia Halal yang bertugas mengawasi PPH di perusahaan, menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan, mengordinasi PPH, dan mendampingi auditor halal. Penyelia itu dalam UU JPH disyaratkan beragama Islam dan memiliki wawasan luas soal kehalalan (Pasal 28 ayat 1). Syarat itu dihilangkan dalam RUU Ciptaker, dan ketentuan lebih lanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Ilustrasi Halal
Pada revisi Pasal 29 UU JPH pada RUU Ciptaker, ditambahkan bahwa jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dalam waktu paling lama satu hari kerja. Demikian juga pada revisi Pasal 30 UU JPH, jangka waktu penetapan LPH pemeriksa kehalalan produk tertentu dipangkas dari lima hari kerja pada UU JPH menjadi satu hari kerja.
Pada revisi Pasal 31 UU JPH dalam RUU Ciptaker, pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan auditor halal, paling lama 15 hari kerja. Ketentuan ini tak ada pada pasal yang sama dalam UU JPH.
Sementara pada revisi Pasal 42 UU JPH dalam UU Ciptaker, pengakuan perpanjangan sertifikat halal bisa jadi tak memerlukan pemeriksaan dan pengujian ulang. Pasal 42 ayat 3 itu, diatur dalam RUU Ciptaker, berbunyi "Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, BPJPH dapat langsung menerbitkan perpanjangan sertifikat halal."
Selanjutnya, pada revisi Pasal 44, dicantumkan aturan baru bahwa permohonan sertifikasi halal oleh pelaku usaha mikro dan kecil tak dikenakan biaya.
Pada Pasal 48 UU JPH, produk yang tak diregistrasi sertifikat halalnya bisa dikenai sanksi administratif dan penarikan barang dari peredaran. Sanksi penarikan barang dari peredaran itu dihapuskan dalam RUU Ciptaker.
Perubahan signifikan juga terdapat pada ketentuan pidana UU JPH. Pada Pasal 56, pelaku usaha yang tak menjaga kehalalan produk yang telah memeroleh sertifikat halal diancam "pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah)".
Dalam RUU Ciptaker, pelanggaran serupa diganjar denda paling banyak Rp 2.000.000.000. Hanya jika denda itu tak dibayarkan barulah pelaku usaha terkait bisa dikenai pidana penjara paling lama lima tahun.