REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bukan solusi untuk menyejahterakan guru honorer. Menurutnya kebijakan itu hanya pengalihan masalah sementara.
"BOS itu bukan solusi untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer, tapi pengalihan masalah sementara dan tidak strategis untuk guru honorer," katanya di Jakarta, Kamis (13/2).
Alasannya, kata dia, tidak semua guru memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan ( NUPTK). Prasyarat utama agar guru honorer bisa mendapatkan honor dari dana BOS yakni harus memiliki NUPTK per 31 Desember 2019.
Dalam kebijakan Merdeka Belajar episode III, katanya, disebutkan tentang perubahan dana BOS yang diperkenankan digunakan untuk gaji guru honorer, yakni maksimum 50 persen dari dana BOS. Persentase itu meningkat dari tahun sebelumnya, dan hanya diperbolehkan 15 persen untuk sekolah negeridan 30 persen untuk sekolah swasta.
"Kasihan guru yang tidak punya NUPTK, dia tidak diakui statusnya. Padahal guru honorer memerlukan kejelasan status," ujarnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan jumlah guru honorer yang sudah memiliki NUPTKhingga 18 Desember 20119, sebanyak 708.963 guru atau 47 persen dari total guru honorer yang memiliki jumlah 1.498.344 guru. Ia mengusulkan agar gaji guru honorer diberikan dari pos anggaran lainnya. Hal itu dikarenakan dana BOS sangat mepet untuk operasional sekolah.
"Gaji guru honorer harus dari pos yang lebih strategis, karena yang dialami guru honorer adalah statusnya yang tidak jelas," ucapnya.