REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) pada 24 Januari 2020. Konsep atau draf RUU itu telah diserahkan ke DPR RI untuk dibahas.
Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, mengapresiasi langkah pemerintah yang akhirnya mengajukan RUU tersebut. Namun ia menyayangkan karena pengajuan tersebut dinilainya sudah sangat terlambat.
"Ini pengajuan yang terlambat karena kami sudah mendesak sejak 4-5 tahun yang lalu dan janjinya akan segera diserahkan saat itu, namun ternyata baru diajukan sekarang," kata Sukamta dalam jumpa pers di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Di samping itu, menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, saat ini yang lebih penting tidak hanya UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) saja, namun juga perlindungan data yang lebih luas.
"Presiden sudah mengatakan bahwa saat ini data is the new oil. Oleh karena itu jangan biarkan data kita ditampung di luar negeri," ujar anggota legislatif dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Saat ini, tutur Sukamta, industri-industri milik dalam negeri yang ingin mengakses data orang-orang Indonesia harus meminta ke luar negeri. Bahkan, saat ini data-data tersebut tidak bisa diminta, melainkan harus dibeli.
"Kita berharap pemerintah melindungi data orang Indonesia, termasuk pusat data juga harus di Indonesia, bukan di luar negeri," kata lulusan Manchester University, Inggris, tersebut.
Dalam perkembangan terakhir, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate telah menemui pimpinan DPR RI pada awal Februari lalu untuk membahas RUU ini. Nantinya, RUU ini akan dibahas oleh Komisi I DPR RI dengan tahap-tahap yang tak berbeda dengan penyusunan RUU lainnya. Plate menyebut, draf RUU tersebut memuat tiga substansi utama. Ketiganya, yakni kedaulatan data, hak pemilik data, dan pengguna data.