Senin 10 Feb 2020 15:37 WIB

Hakim MK: Apa yang Benarkan Wamen Bisa Jadi Komisaris?

Anggota MK juga mempertanyakan apakah wamen pejabat negara atau bukan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Teguh Firmansyah
Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)  dalam persidangan uji materi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mempertanyakan sejumlah wakil menteri (wamen) yang merangkap jabatan. Anggota majelis hakim konstitusi Saldi Isra meminta landasan hukum yang membenarkan wakil menteri dapat merangkap jabatan.

"Apa yang membenarkan atau apa dasar hukum apa yang membenarkan wamen itu bisa jadi komisaris, kan banyak wamen tuh hampir semua wamen jadi komisaris, lalu ada juga yang jadi komisioner di lembaga negara," ujar Saldi dalam persidangan di gedung di MK, Jakarta Pusat, Senin (10/2).

Baca Juga

Menurut dia, lembaga negara yang diposisikan independen justru ada yang menjadi wamen. Ia meminta pemerintah memetakan kebutuhan wamen untuk memastikan jabatan itu memang kebutuhan penyelenggaraan negara atau kebutuhan-kebutuhan lain.

"Ini kan bisa terbalik-balik ini, lembaga yang diposisikan independen itu ditaruh wamen di situ. Kalau yang kayak-kayak begini supaya mahkamah bisa dibantu, supaya kita bisa melihat peta kebutuhan wamen itu memang kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan atau kebutuhan-kebutuhan lain," kata Saldi.

Sementara anggota majelis hakim konstitusi Suhartoyo meminta pemerintah menjelaskan yang dimaksud dalam pasal 10 UU Kementerian Negara. Pasal itu berbunyi, "dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu".

Suhartoyo menuturkan, pasal itu mengatur adanya jabatan wamen ketika kementerian terkait terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus sehingga dinilai perlu dibantu wamen. Akan tetapi, orang yang menjabat wamen justru orang-orang yang sudah memiliki jabatan di lembaga lainnya.

"Ini ada korelasinya kenapa justru para wamen diperbolehkan menjabat jabatan rangkap, ini ada berapa bukti kan jadinya, coba alasannya apa nanti tolong ditambahkan," tutur dia.

Bahkan Suhartoyo mempertanyakan apakah wamen merupakan pejabat negara atau bukan. Sebab, kalau menteri, maka ia dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta, serta pimpinan organisasi yang dibiayai dari anggaran pendapatan belanja negara/daerah.

Di sisi lain, ketua majelis hakim konstitusi Anwar Usman mempertanyakan jumlah maksimal menteri secara keseluruhan di setiap kementerian karena beberapa kementerian diisi lebih dari satu wamen. Sedangkan UU Kementerian Negara mengatur jumlah keseluruhan kementerian sebanyak 34.

"Menurut Undang-Undang Kementerian Negara, maksimal kementerian itu 34 kalau tidak salah. Boleh enggak misalnya satu kementerian itu dijabat oleh dua menteri," kata Anwar.

Wamen yang merangkap jabatan itu seperti Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara yang baru saja dilantik sebagai Anggota Dewan Komisoner OJK Ex-officio Kementerian Keuangan pada Senin, 13 Januari 2020 lalu. Serta Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid yang menjabat juga wakil ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sebelumnya, Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Bayu Segara selaku pemohon mengajukan uji materi terhadap Jabatan wakil menteri yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Ia menilai penambahan jumlah wakil menteri dilakukan secara subjektif dan tanpa ada alasan urgensi yang jelas.

“Dengan dapat ditambahkannya jumlah wakil menteri secara subjektif oleh Presiden tanpa adanya alasan urgensi yang jelas, mengakibatkan negara harus menyediakan fasilitas-fasilitas khusus dari negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),” ujar kuasa hukum pemohon, Viktor Santoso Tandiasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement