Kamis 06 Feb 2020 07:55 WIB

Fazlur Rahman dan Kegelisahan Kita Semua

Rahman dilabeli kafir dan darahnya dihalalkan.

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah*

 

Fondasi keilmuannya, memang cukup kuat. Ini tak bisa terbantahkan. Sosok yang lahir September 1919 itu, juga telah menghafal Alquran. Tak sulit melacak akar pemikiran sang tokoh. Prof Ebrahim Moosa,  dalam Revival and Reform in Islam (Oxford : 2000), mengatakan dasar pemikirannya terpengaruh kuat dari Seminari Deoband yang bercokol di anak benua India. Meski ia tak belajar langsung di seminari itu, tetapi warisan keilmuan itu ia peroleh dari sang ayah Mawlana Shihab al-Din.

Ia mahir menguasai tafsir, hadis, ilmu kalam, filsafat, logika, dan fikih.  Setelah menyandang gelar BA dan MA dari Universitas Punjab, Lahore. Ia memutuskan untuk menempuh program doktoral di Universitas Oxford, dengan disertasinya menyangkut studi manuskrip kitab al-Najat Ibnu Sina. 

Membaca proses pembentukan bangunan pemkiran Rahman, muncul setidaknya tiga fase yang pernah ia lewati. Pada tahap pertama perjalanan intelektualnya, ia terinspirasi karya para filsuf Muslim klasik. Ia kagum dengan pemikiran al-Farabi dan Ibn Rusyd dalam hal tertentu. Ia membaca teks, menikmati kehalusan argumen, dan menemukan mereka sebagai figur terampil dan cerdas. Namun, ia memandang hal itu sebagai konstruksi intelektual belaka. Tak memberikan dampak nyata.

Ia beralih ke teologi Islam dengan mengeksplorasi ide-ide dan pemikiran dari beberapa tokoh terkemuka seperti al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Syah Waliyullah. Satu sisi ia menyadari, memang para teolog itu tidak lebih baik dari para filsuf. Tetapi menurutnya, para telolog lebih memiliki konsistensi.  Ia pun memutuskan untuk berteolog. 

Pada puncak pencarian intelektualnya, Rahman berusaha membangun proyek rekonstruksi landasan intelektual di era modern. Ia berusaha mengelaborasikan  yang terbaik dari pemikiran Islam klasik dengan pemikiran kontemporer. 

Pemikir generasi awal yang ia sukai ide-ide mereka yaitu  al-Ghazali ( 1111 M), Ibnu Taimiyah (1328 M), Syekh Ahmad Sirhindi (1624 M), dan Syah Waliyullah (1762 M). Pada generasi kedua, Jamal al-Din al-Afghani (1897 M), Muhammad Abduh (1905 M), Shibli Numani (1914 M), Sir Muhammad Iqbal (1938 M) dan Ziya Gokalp (1924 M) adalah tokoh yang menginspirasi Rahman.

Pendekatan modernis ke pemikiran intelektual Islam dan warisan diperkuat dengan hermeneutika Alquran, memang menempatkannya sebagai pemikir kontroversial. Namun, lagi-lagi Rahman adalah sosok dengan fondasi keilmuwan yang kuat dengan dasar  pendidikan Islam tradisional serta pemikiran Barat modern dan filsafat.

Upaya untuk menjembatani barat dan Islam itu tampak di berbagai teori yang ia sampaikan. Pemikirannya cukup unik, begitu sebut Herbert Berg dalam The Development of Exegesis in Early Islam (Richmond). Ini terlihat dari pandangannya tentang pembacaan sejarah.

'Historisisme' yang muncul pada abad kesembilan belas di Eropa, seperti dikuatkan oleh definisi Hamilton (1996:2), menekankan bahwa masyarakat bisa menciptakan sendiri kebenaran dasar untuk mampu memenuhi keadaan baru. Pandangan seperti ini tidak ditelan mentah-mentah oleh Rahman. Ia menawarkan  'historisisme etis'. Penilaian masa lalu hanya dapat dilakukan dengan mengacu pada satu set transenden etika.  

Menurutnya, berkorelasi dengan ini, Alquran adalah hakim tidak hanya masa lalu, tetapi Muslim dituntut untuk menghadirkan dan menyajikan cetak biru model untuk masa depannya. Alquran bukanlah sebuah buku etika abstrak, juga bukan dokumen hukum. Melainkan, ini adalah sebuah karya peringatan moral. 

Historisme etis ini mendapat sanggahan kuat dari Hans George Gadamer. Ia tak hanya menuai kritik dari Barat. Pada 1960, atas teorinya tersebut ia mendapat kecaman keras dari ulama konservatif Pakistan. Bahkan, mereka menjatuhkan label kafir bagi Rahman dan menghalalkan darahnya. 

Tetapi, layaknya para pemikir Islam sebelumnya, ia dihadapkan dengan satu realita sekaligus keagaman yang sama. Ia dituntut menjawab sebuah pertanyaan besar, bagaimana Islam sebagai kesepakatan, agama, pandangan, budaya, etika, dan ekonomi, serta pendidikan bisa sejalan dengan modernitas.

Pada  awal 1960-an,  Rahman ditunjuk oleh Preseiden Ayub Khan untuk menjabat  Direktur Institut Pusat Penelitian Islam. Penunjukkan itu bukan tanpa alasan. Ia diminta untuk mengembangkan silabus reformis untuk pendidikan tinggi Islam di Pakistan.

Ia sempat kecewa, lantaran keseriusannya tidak berbuah karena berbagai faktor, tak terkecuali situasi perpolitikan dalam negeri Pakistan. Atmosfer perpolitikan dan kondisi sosiologis di sekitar Rahman itu lah, menurut sebagian peniliti, tak bisa dilepaskan dalam kristalisasi pemikirannya.   

Rahman adalah Rahman, ia muncul lalu tak mampu berbuat lebih banyak lagi karena beragam faktor. Namun, satu hal yang disepakati, warisan intelektualnya lah yang akan terus terjaga.

Tulisan ini bukan sebuah pemujaan atas buah pemikiran Rahman. Karena, bagaimanapun, dalam tradisi pemikiran atau keilmuwan,  ia tidak berangkat dari ruang hampa. Ia melalui sebuah dialektika dan dinamisasi. Tetapi, bagaimana mengungkap ke khalayak perihal kegelisahan seorang cendekiawan Muslim atas paradoksi pola pikir keagamaan dan realita kemunduran dan keterbelakangan umat. Soal ini, tentu saya yakin, bukan hanya Rahman yang gelisah. 

 *) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement