REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Kanker payudara menempati posisi terbanyak atau 856 kasus/kejadian dari total jumlah penderita kanker di Sumatera Utara (Sumut) pada tahun 2019. Bahkan menurut catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), hingga 2015 saja BPJS telah mengucurkan dana RP 2,2 triliun untuk pengobatan kanker.
"Memang jumlah penderita kanker payudara pada 2019 menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang di atas seribu. Tapi itu belum memuaskan," ujar Kepala Dinas Kesehatan Sumut, dr Alwi Mujahit Hasibuan di Medan, Selasa (4/2) lalu.
Dia mengatakan itu usai acara peringatan Hari Kanker Sedunia 2020 di Medan. Menurut dia, penyakit kanker masih jadi ancaman karena dari pola hidup, masyarakat di Sumut belum baik. Mulai makan tidak sehat, kebiasaan merokok dan minum alkohol, kurang makan sayur dan berolah raga, serta terkena polusi udara.
"Semuanya itu membuat potensi kasus penyakit kanker semakin besar," ujarnya.
Ancaman kanker, tambahnya semakin besar karena masyarakat masih belum menyadari perlunya memeriksakan diri secara dini. Padahal pemeriksaan secara dini bisa dapat mendeteksi dan mencegah penyakit kanker ke arah stadium akhir.
Pemilik Rumah Sakit (RS) Murni Teguh dr Mutiara, menyebutkan kasus penyakit kanker terus meningkat setiap tahun. Berdasarkan data Globocan tahun 2012, di seluruh dunia terdapat 14,1 juta kasus kanker baru dan sebanyak 8,2 juta kasus kematian yang diakibatkannya.
"Penderita kanker diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya hingga mencapai 23,6 juta kasus baru pada tahun 2030," sebutnya.
Tingginya penderita kanker di Indonesia juga membuat pembiayaan terhadap pasien kanker meningkat. Data dari BPJS Kesehatan, hingga akhir tahun 2015, penyakit kanker menghabiskan biaya sebesar Rp 2,2 triliun dan menempati urutan ke tiga setelah penyakit jantung dan gagal ginjal.
"Untuk itu perlu terus ada edukasi bahwa kanker adalah penyakit yang bisa ditangani jika diketahui dan diobati sejak dini," katanya.
Namun Ahli onkologi Prof DR Aru W Sudoyo mengatakan program deteksi dini atau skrining di Indonesia hingga saat ini masih belum berjalan dengan baik. Ini salah satu pemicu tingginya angka kanker setiap tahun.
"Kanker itu saat ini di Indonesia sama juga dengan negara berkembang lainnya naik dengan amat pesat. Program deteksi dini belum jalan dan kita masih banyak bergerak di fasilitas kesehatan untuk pengobatan," kata dia di Jakarta.
Ia menjelaskan program deteksi dini merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui kanker dari stadium dini. Hal itu bisa berbentuk tes maupun pemeriksaan menggunakan alat tertentu.
"Tentunya harus menyangkut semua rakyat dan biayanya besar sekali," ujar dia.
Khusus di Indonesia, deteksi dini yang baru jalan yaitu pemeriksaan atau tes Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) atau mendeteksi dini kanker serviks dan hal itu telah didukung oleh Ibu Negara Iriana. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 264 juta lebih maka diyakini pemerintah tidak akan mampu menjalankan program deteksi ini pencegahan kanker. Oleh karena itu, ia menyarankan dan mendorong agar ada bantuan dari komunitas atau lembaga swadaya masyarakat.
"Di sini Yayasan Kanker Indonesia masuk. Kami juga punya program deteksi dini sepanjang kemampuan dan tenaga dengan melakukan edukasi maupun pemeriksaan," katanya.
Ia menjelaskan tingginya angka kanker juga disebabkan oleh perubahan gaya hidup masyarakat yang sudah semakin kompleks dan rumit. Hal itu bisa dilihat dari tambahan porsi dan pola makan seseorang.
Sebagai contoh, seseorang lebih banyak makan yang mengandung lemak dan kurang serat, banyak mengonsumsi makanan cepat saji dan ditambah pula kurang aktivitas olahraga. "Faktor tersebut lah yang memicu angka penyakit kanker naik pesat," kata Ketua umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI) tersebut.Tingginya angka penyakit mematikan itu juga tercatat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dimana pasien paling dominan yaitu penyakit onkologi atau kanker.
Kanker merupakan sebuah penyakit yang sudah menjadi masalah besar dan harus segera ditagani. Hal itu dikarenakan berimbas pada penderitaan pasien, kehilangan tenaga kerja maupun anggota keluarga termasuk beban pemerintah yaitu BPJS Kesehatan.