REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Novita Intan
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 mengalami perlambatan dibandingkan tiga tahun terakhir. Jika pada rentang 2016 hingga 2018, ekonomi mampu tumbuh masing-masing 5,03 persen, 5,05 persen dan 5,17 persen, pada 2019 angka pertumbuhan turun menjadi 5,02 persen.
Meski melambat, Kepala BPS Suhariyanto menilai, kondisi ekonomi Indonesia pada tahun lalu patut diapresiasi. Sebab, di tengah perlambatan perdagangan global sepanjang 2019, mempertahankan pertumbuhan di tingkat lima persen tidaklah mudah.
"Saya pikir, 5,02 persen dengan situasi yang menunjukkan perlemahan ini masih cukup baik," katanya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (5/2).
Suhariyanto mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia yang masih menjaga momentum pertumbuhan 5 persen juga lebih baik dibandingkan negara lain. Sebut saja China, ekonomi terbesar dunia, yang tumbuh melambat dari 6,5 persen pada kuartal empat 2018 menjadi 6,0 persen pada kuartal empat tahun lalu.
Sementara itu, Amerika Serikat juga tumbuh melambat dari 2,5 persen pada kuartal empat 2018 menjadi 2,3 persen pada kuartal empat 2019. Negara tetangga Indonesia, Singapura, turut mengalami perlambatan dari 1,3 persen pada kuartal keempat 2018 menjadi hanya 0,8 persen pada kuartal lalu.
"Kalau kita bandingkan (pertumbuhan Indonesia) dengan penurunan negara lain, (perlambatan) kita tidak curam," tutur Suhariyanto.
Apabila dilihat secara lebih detail, kuartal keempat menjadi momentum pertumbuhan ekonomi terlambat dibandingkan tiga kuartal sebelumnya di tahun lalu. Laju pertumbuhannya hanya 4,97 persen, sementara kuartal pertama hingga kuartal ketiga masing-masing berada di tingkat 5,07 persen, 5,05 persen dan 5,02 persen.
Bahkan, jika diperhatikan, laju pertumbuhan kuartal keempat 2019 menjadi laju kuartalan terlambat sepanjang empat tahun terakhir. Sebelumnya, rekor ini dipegang oleh pertumbuhan kuartal ketiga yang tumbuh 5,02 persen.
Suhariyanto mengakui, pertumbuhan kuartal terakhir di tahun lalu yang berada di bawah lima persen memang di bawah ekspektasi banyak pihak. Tidak terkecuali pemerintah ataupun para ekonom.
"Tapi, saya tidak bilang mengecewakan," katanya.
Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis BPS di bawah proyeksi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebelumnya, ia memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 di tingkat 5,05 persen. Angka tersebut juga sudah di bawah target pertumbuhan ekonomi 2019 yang tercantum dalam Undang-Undang APBN 2019, 5,3 persen.
Sri menyatakan, realisasi di bawah prediksi itu dipengaruhi oleh kondisi global yang mengalami perlambatan. Penyebabnya terdiri dari sejumlah sentimen, seperti perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Cina maupun proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit.
"Dengan kondisi itu, pada 2019, lingkungan makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berubah dari target 5,3 persen mungkin realisasi 5,05 persen," ucap Sri dalam konferensi pers kinerja APBN 2019 di kantornya, Selasa (7/1).
[video] Wabah Virus Corona Berdampak pada Sektor Pariwisata
Respons Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menanggapi rilis BPS yang menyebutkan ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 5,02 persen sepanjang 2019. Presiden memandang, realisasi pertumbuhan ekonomi seperti yang dicatatkan BPS sudah patut disyukuri.
Jokowi menyampaikan, tak mudah bagi Indonesia mempertahankan kinerja pertumbuhan ekonomi di tengah iklim dunia yang mendung. Perlambatan ekonomi, menurut Jokowi, juga dialami banyak negara lain di dunia.
Di tengah dinamika dunia tersebut, Jokowi melihat Indonesia masih cukup tangguh menjaga angka pertumbuhan di atas angka 5 persen. Di antara negara-negara G20, ujar Jokowi, kinerja pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bahkan duduk di peringkat dua di bawah Cina.
"Patut kita syukuri, yang lain-lain bukan turun, anjlok. Kita ini kalau enggak kita syukuri artinya kufur nikmat. Pertahankan pada posisi yang seperti ini saja sulit sekali," jelas Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu (5/2).
Menurut presiden, yang terpenting dilakukan untuk menghadapi tantangan ekonomi dunia adalah komunikasi yang terus terjaga antara otoritas moneter yakni Bank Indonesia dan pemerintah. Jokowi menilai, bahwa kebijakan moneter yang hati-hati oleh BI dan kebijakan perbankan yang pruden oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih diperlukan.
"Sehingga kita juga patut bersyukur bahwa beberapa rating agency juga memberikan kita kenaikan. Misalnya yang terakhir kita lihat misalnya Japan Credit Rating juga memberikan tambahan level yang lebih tinggi kepada kita," jelasnya.
Meski mengalami perlambatan pertumbuhan, ekonomi Indonesia masih diyakini menawarkan 'trust' yang tinggi terhadap para calon investor. Presiden menekankan pentingnya seluruh pemangku kepentingan moneter dan perbankan, serta pemerintah, untuk terus menjaga optimisme ini.
Menurut Direktur Pelaksana, Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia, Mari Elka Pangestu pencapaian ekonomi Indonesia masih cukup baik dibandingkan negara lain.
"Kurang lebih kita masih tumbuh 5 persen, kita harus bersyukur di tengah ketidakpastiaan (ekonomi global)," ujarnya saat acara 'Mandiri Investment Forum 2020' di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (5/2).
Mari Elka mengatakan, pemerintah perlu melakukan reformasi struktural seperti bidang pajak, investasi dan UKM. Langkah ini untuk menarik investor asing, sehingga mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
"Semoga tahun ini bisa benar-benar terjadi kita bisa mulai melihat investasi mengalir. Tetapi mungkin dampaknya baru mulai terasa tahun depan karena invetasi perlu waktu," ucapnya.
Menurutnya, perlambatan ekonomi juga akan terasa pada kuartal satu 2020. Apalagi, adanya virus Corona mampu berdampak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Perlambatan tergantung dari stimulus fiskal, tergantung juga dari dampak coronavirus, karena kelihatannya dampak yang sudah terasa itu kan ke pariwisata," ucapnya.
Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2019