REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara
Pemerintah disebut sedang mempertimbangkan membawa pulang 600 WNI yang terafiliasi dengan ISIS. Langkah tersebut menuai pro dan kontra.
Anggota Komisi I DPR RI, Willy Aditya meminta agar pemerintah memperlakukan 600 WNIyang berafiliasi dengan ISIS yang akan dipulangkan ke Tanah Air sebagai pencari suaka.
"Kita tidak menganut dwi kewarganegaraan. Jadi kalau mantan ISIS itu sudah membakar paspor Indonesianya, mereka adalah para pencari suaka. Perlakukan mereka selayaknya pencari suaka," kata Willy, di Jakarta, Senin (3/2), menanggapi rencana pemerintah yang akan memulangkan 600 WNI yang jadi kombatan ISIS.
Menurut dia, jika benar 600 orang Indonesia yang memilih membakar paspor Indonesia demi menjadi ISIS, maka tidak bisa pemerintah memperlakukan mereka sepenuhnya sebagai WNI. "Mereka yang telah memilih menanggalkan kewarganegaraannya harus diperlakukan sebagai non WNI," jelasnya.
Willy menegaskan, pemerintah harus sangat hati-hati dalam mengambil langkah tersebut. Menurutnya, terorisme adalah salah satu yang diperangi dunia secara global. Jangan karena mengembalikan mantan ISIS, malah Indonesia dituding menjadi penampung teroris.
"Dalih kemanusiaan untuk memulangkan eks-ISIS harus benar-benar diimbangi dengan kepentingan pertahanan dan perlindungan warga negara yang lebih luas. Tidak bisa kita korbankan lebih banyak warga Indonesia demi mendapat label kemanusiaan dari 600 eks-ISIS," jelas politikus Partai NasDem ini.
Pemerintah, kata dia, harus mengkaji lebih dahulu kebijakan pemulangan para eks-ISIS itu. "Pemerintah perlu menyeleksi siapa yang bisa diberikan suaka, dipulangkan karena masih berpaspor Indonesia, dan siapa yang harus ditolak masuk ke Indonesia. Setelahnya, semua eks-ISIS yang masuk harus dididik dan dilatih dalam program khusus antiterorisme dan radikalisme sebelum dikembalikan ke tengah kehidupan sosial masyarakat," ujarnya.
Oleh karena itu, kata pria yang memegang gelar master pertahanan ini, langkah pemerintah yang akan memulangkan WNI eks-ISIS harus memiliki perencanaan yang matang sebelum dieksekusi.
Ia menambahkan harus ada mekanisme dan syarat yang wajib diikuti oleh mantan ISIS sebelum mereka bisa diberangkatkan ke Indonesia. Selanjutnya harus ada program pembinaan dan monitoring sebelum mereka dikembalikan ke masyarakat.
"Ini tidak kalah gawatnya dengan virus corona. Treatment-nya juga harus ekstra hati-hati. Boleh jadi mereka yang memilih menjadi kombatan ISIS adalah korban propaganda, namun tidak menutup kemungkinan mereka juga adalah bagian dari propaganda ISIS. Karena itu upaya untuk mengikis dan menghilangkan paham atau dukungan terhadap violent extremism dari mereka yang datang ke Indonesia benar-benar harus holistik. Jangan kita membahayakan 230 Juta orang Indonesia demi 600 orang yang tega menanggalkan ke-Indonesiaannya," demikian Willy Aditya.
Dikutip dari laman Kemenag, Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan pemerintah saat ini masih mengkaji kemungkinan memulangkan mereka ke Indonesia. "Rencana pemulangan mereka itu belum diputuskan pemerintah dan masih dikaji secara cermat oleh berbagai instansi terkait di bawah koordinasi Menkopolhukam. Tentu ada banyak hal yang dipertimbangkan, baik dampak positif maupun negatifnya," ujar Menag, Sabtu (01/02) malam.
Menurut Menag, pembahasan terkait ini terus dilakukan. Ada sejumlah masukan dari berbagai pihak. Dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) misalnya, menggarisbawahi pentingnya upaya pembinaan jika eks ISIS ini akan dipulangkan.
Meski, kata Menag, proses pembinaan bukan hal mudah karena mereka adalah orang-orang yang sudah terpapar oleh idealisme yang sangat radikal. "Kita akan terus upayakan langkah terbaik, dengan menjalin sinergi semua elemen masyarakat. Tidak hanya pemerintah, tapi juga LSM dan ormas keagamaan," katanya.
Kementerian Agama, lanjut Menag, di bawah kepemimpinannya juga akan terus menggerakkan penguatan moderasi beragama. Masyarakat terus diberi pemahaman keagamaan tentang pentingnya nilai-nilai moderasi dan toleransi. Sehingga, mereka tidak terus terjebak dalam pemahaman yang terlampau ekstrem, terlalu kiri berupa liberalisme-sekular, maupun kanan dalam sikap konservatisme-radikal.
"Semua kita ajak dan bina untuk mendekat pada titik gravitasi kesetimbangan, berupa moderasi beragama. Semoga, hal ini juga bisa dilakukan kepada para eks ISIS jika mereka akan dipulangkan," katanya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius, di depan puluhan praktisi antiterorisme dari Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura, menyampaikan empat tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menerima kembali para terduga dan mantan teroris lintas batas (foreign terrorist fighter) yang memilih pulang ke negara asal
"Ada empat pertanyaan yang harus dijawab dalam menghadapi masalah teroris lintas batas ini. Pertama, bagaimana kita memeriksa mereka secara tepat. Bagaimana kita memisahkan mereka yang menjadi korban dengan mereka yang mendukung aksi teror. Bagaimana kita memastikan anak-anak dan perempuan menerima perlakuan yang tepat sambil memastikan keutuhan keluarga. Dan terakhir bagaimana kita memperkuat sistem hukum dan penegak hukum," kata Komjen Pol Suhardi Alius dalam pidato kuncinya pada acara yang diadakan oleh Komite Anti-Terorisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (CTED) bersama Pemerintah Indonesia di Jakarta, Senin (3/2).
"Kita pernah punya pengalaman memulangkan warga negara Indonesia (bekas pasukan ekstremis) pada 2017. Saat itu, mereka yang dipulangkan menjalani program deradikalisasi selama satu bulan," terang Suhardi saat ditemui usai menyampaikan pidato kunci.
Sejauh ini, ada sekitar 600 warga negara Indonesia yang teridentifikasi sebagai bekas teroris lintas batas di Suriah. "Dari jumlah itu, sedang dibahas di tingkat Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, karena banyak di antara mereka adalah anak-anak dan perempuan," tambah Suhardi.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Koordinator Bidang Hukum dan Pengadilan Kriminal CTED, Marc Porret, menyampaikan pemulangan terduga teroris merupakan salah satu isu yang perlu dipikirkan bersama negara-negara dunia. Oleh karena itu, ia berharap pihaknya dapat menghimpun berbagai pengalaman dan pengetahuan serta usulan dari negara-negara peserta diskusi.
"Hasil dari diskusi ini akan kami himpun dalam sebuah laporan dan akan kami presentasikan pada Desember 2020. Kami berharap Indonesia ikut terlibat dalam penyampaian hasil laporan tersebut," tambah dia.