REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kiki Sakinah, Ratna Ajeng Tejomukti
Mantan Menteri Peradilan Arab Saudi, Mohammed Bin Abdul-Karim Issa, mengumumkan negaranya tidak akan lagi mendanai masjid di negara-negara asing. Dalam hal ini, Saudi akan membentuk dewan administratif lokal untuk setiap masjid, yang bekerja sama dengan pihak berwenang setempat. Hal ini bertujuan agar masjid-masjid itu ditangani oleh pihak yang tepat.
"Sudah waktunya untuk menyerahkan Masjid Jenewa ke Dewan Administrasi Swiss yang mewakili Muslim di daerah itu. Seharusnya ada ulama terpilih," kata Issa, dilansir di Daily Times, Ahad (2/2).
Langkah ini tidak terlepas dari upaya Pangeran Mahkota Mohammad bin Salman yang berusaha memodernisasi negara itu dengan memisahkan politik dan agama, yang merupakan antitesis Islam yang dipraktikkan di wilayah ini. Setelah minyak ditemukan, Arab Saudi menggunakan petrodolar untuk menyebarkan Islam Wahabi ke seluruh dunia.
Pada 2007, kerajaan Saudi telah menghabiskan hampir 2 miliar dolar AS setiap tahun untuk mempromosikan ideologi Wahhabi sebagai bagian dari kekuatan lunak mereka. Di sini, Saudi mendanai masjid di beberapa negara, termasuk India, yang memiliki komunitas Muslim.
Ketua Departemen Pemuda Dewan Masjid Indonesia Arief Rosyid Hasan mengatakan masjid-masjid di Indonesia tidak terganggu dengan penghentian dana bantuan masjid dari Arab Saudi.
"Indonesia merupakan satu dari dua negara yang pengelolaan masjidnya tidak bergantung kepada pemerintah maupun bantuan asing," jelas dia saat dihubungi, Ahad (2/2).
Beberapa masjid di Indonesia memang ada yang mendapatkan bantuan pendanaan, hanya saja itu tidak bersifat rutin. Mereka biasanya memberikan bantuan ketika pembangunan masjid.
"Saudi memang beberapa kali memberikan bantuan tetapi tidak bersifat rutin, dan itu hanya beberapa masjid saja," ujar dia.
Selama ini, kata Arief, pengelolaan masjid di Indonesia langsung dikelola masyarakat. Selain Indonesia, hanya masjid di Pakistan dikelola dengan cara yang sama.
Dengan adanya penghentian pendanaan, Arief menyarankan agar masjid-masjid di luar negeri dapat belajar kepada Indonesia. Sehingga, aktivitas masjid yang selama ini berlangsung tidak terganggu.
Banyak hal yang dapat dipelajari dalam pengelolaan masjid di Indonesia. Tidak hanya pendanaan, tetapi juga ajaran-ajaran Islam dan berbagai kegiatan yang diselenggarakan di setiap masjid.
Sekjen DMI Imam Ad daruquthni mengakui setiap negara memang kesulitan dalam memberikan bantuan kepada masjid di negara lain.
"Sebenarnya penghentian pendanaan Arab Saudi kepada masjid-masjid yang dikelolanya di luar negeri karena mereka khawatir akan dicap sebagai negara pendukung terorisme oleh AS," jelas dia saat dihubungi, Ahad (2/2).
Pengecapan tersebut dimulai pada 29 Desember 1979 terhadap Libya, Irak, Yaman Selatan, dan Suriah. Kini empat negara yang masih masuk dalam daftar tersebut adalah Korea Utara, Iran, Sudan dan Suriah.
Imam mengatakan, sudah sejak saat itu setiap negara sangat kesulitan untuk membantu masjid yang berada di negara lain. Padahal sebelum AS mengeluarkan daftar negara pendukung terorisme, Indonesia cukup aktif dalam membantu pendanaan di masjid berbagai negara seperti Islamic Center di Washington, Masjid di Bosnia Herzegovina dan di negara-negara Afrika.
Kini, negara-negara mendapatkan kemudahan untuk memberikan bantuan jika itu atas nama kemanusiaan seperti membantu negara yang terjangkit virus Corona atau negara yang mengalami konflik dan bencana alam. Saat ini, Arab Saudi melakukan hal yang sama dengan menghentikan pendanaan tersebut. Karena, Masjid Swiss pernah terindikasi mendukung terorisme sejak oknum pengurusnya masuk daftar hitam.
Berbeda dengan masjid di negara lain, masjid di Indonesia mendapatkan pendanaan dari swadaya masyarakat. Sehingga, tidak ada kekhawatiran dengan penghentian pendanaan Saudi.
"Dulu pernah ada orang Saudi yang membantu pembangunan masjid di Indonesia tetapi itu perorangan bukan atas nama pemerintah Saudi, dia ingin membangun masjid di Indonesia karena ingin mendapatkan amal sholih lebih banyak," jelas dia.