REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Para peneliti dari berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri yang tergabung dalam Konsorsium Ground Up meneliti tentang tata kelola air tanah di Kota Semarang. Tata kelola air di Semrang dinilai dieksploitasi berlebihan.
Juru bicara Konsorsium Ground Up, Amalinda Savirani mengatakan, penelitian tahap pertama telah selesai dilakukan pada 2019. Menurut dia, penelitian tersebutakan tuntas hingga tiga tahun ke depan.
Ia menyebut terdapat peneliti dari Universityof Amsterdam, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Katolik Soegijapranata, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap keberadaan sumber daya air. Dalam tahap pertama penelitian tersebut, kata dia, diperoleh hasil tentang ekstraksi air tanah yang sangat ekstrim di Ibu Kota Jawa Tengah itu.
Ia menyebut ekstraksi air tanah pada sekitar 1900-an yang hanya 0,4 juta meter kubik per tahun telah meningkat menjadi 38 juta meter kubik per tahun pada 2000-an. Salah satu dampakdari ekstraksi air tanah yang ekstrem ini, kata dia, terjadi penurunan tanah di sebagian wilayah Kota Semarang, khususnya di bagian utara
"Salah satu indikatornya, masyarakat di pesisir utara lebih sering melakukan perbaikan rumah akibat penurunan tanah," kata Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM Yogyakarta ini.
Selain penurunan tanah, kata dia, permasalahan lain dari krisis air di wilayah Semarang yakni abrasi.Sejak 1972 hingga 2019, kata dia, abrasi di wilayah Semarang hingga Demak telah melanda wilayah seluas 4.274 hektare.
Dalam penelitian ini, lanjut dia, menggunakan sudut pandang sosio-teknis dalam pengumpulan datanya. Ia menambahkan dari hasil penelitian ini diketahui pula berbagai upaya Pemerintah Kota Semarang dalam menekan eksploitasi air tanah.
"Penelitian ini tidak hanya untuk pemerintah daerahnya saja, namun juga warganya untuk lebih peduli tentang permasalahan air," katanya.