Sabtu 01 Feb 2020 00:30 WIB

Bromo Kini Punya Waktu untuk Memulihkan Diri

Car Free Month diberlakukan di kawasan Bromo selama sebulan hingga 24 Februari 2020.

Wisatawan mengambil gambar kawah Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (30/6).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Wisatawan mengambil gambar kawah Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (30/6).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pesona wisata di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur, memang tidak diragukan lagi. Salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Timur itu, mampu menyedot ratusan ribu wisatawan tiap tahunnya.

Berdasarkan data dari Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB-TNBTS), sepanjang 2019, jumlah kunjungan wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mencapai 690.831 orang.

Dari jumlah total tersebut, sebanyak 669.422 orang merupakan wisatawan dalam negeri, sementara 21.409 lainnya merupakan wisatawan mancanegara. Total Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kunjungan wisatawan itu pada 2019, mencapai Rp 22,86 miliar.

Dengan banyaknya jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tersebut, menjadikan wilayah itu juga tidak lepas dari hiruk pikuk kendaraan bermotor yang menjadi moda transportasi utama para wisatawan.

Tercatat, ada kurang lebih sebanyak 1.416 jeep yang tergabung dengan paguyuban-paguyuban di kawasan sekitar kawasan Bromo. Paguyuban jeep terbesar berada di wilayah Ngadisari, Kabupaten Probolinggo, yang memiliki 746 unit kendaraan jeep.

Dengan jumlah kendaraan bermotor yang melintas per hari mencapai ratusan atau bahkan ribuan unit pada saat puncak musim liburan, kawasan Bromo juga terkena dampak dari pekatnya asap kendaraan bermotor yang mengandung karbon monoksida.

Dampak karbon monoksida terhadap lingkungan, khususnya tanaman yang mendapatkan paparan tinggi, bisa menghambat kemampuan bakteri untuk mengikat nitrogen. Jika suatu tanaman tidak mampu mengikat nitrogen, maka tanaman tersebut tidak bisa tumbuh.

Bromo ditetapkan menjadi taman nasional oleh pemerintah pada 12 November 1992. Keputusan tersebut diambil sepuluh tahun setelah adanya Kongres Taman Nasional Sedunia yang melakukan pertemuan di Denpasar, Bali, pada 14 Oktober 1982.

Bromo ditetapkan sebagai taman nasional dengan mempertimbangkan kondisi alam dan lingkungannya yang perlu dilindungi, serta didukung dengan berbagai potensi budaya serta tradisi kuno yang perlu dikembangkan.

Sepanjang tahun, kawasan Bromo selalu dilintasi kendaraan bermotor, sehingga saat ini sudah waktunya diberikan waktu untuk beristirahat dari hiruk pikuk kendaraan bermotor dengan layak, selama satu bulan penuh.

Istirahat Sejenak

Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru bersama seluruh pemangku kepentingan di kawasan Bromo, pada 4 Mei 2019, telah melakukan Rapat Koordinasi Pelaku Jasa Wisata, untuk memberikan sedikit waktu bagi Bromo untuk beristirahat.

Sebanyak 140 perwakilan dari seluruh pemangku kepentingan pelaku jasa wisata, sepakat untuk melaksanakan "Car Free Month" atau bulan bebas kendaraan di kawasan Bromo selama satu bulan penuh.

Pelaksanaan Bromo Car Free Month tersebut, bertepatan dengan datangnya Wulan Kepitu, atau bulan ketujuh sesuai kalender masyarakat suku Tengger. Wulan Kepitu sendiri, merupakan bulan yang oleh para sesepuh Tengger dianggap sebagai bulan yang disucikan.

Masyarakat Suku Tengger biasa melakukan "Laku Puasa Mutih" pada Wulan Kepitu tersebut, yang bertujuan untuk menahan perilaku, atau sifat keduniawian, dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Rangkaian Laku Puasa Mutih tersebut, diawali dengan para tetua atau sesepuh Suku Tengger akan melakukan tapa brata, yang diisi dengan nyepi, selama satu hari satu malam, dan tidak tidur.

Kemudian, tidak mengonsumsi makanan enak, dan biasanya hanya memakan nasi jagung serta daun-daunan selama satu bulan penuh, yang ditutup dengan pati geni selama satu hari.

Untuk menghormati budaya tersebut, Balai Besar TNBTS menerapkan car free month selama satu bulan penuh.

Terhitung mulai 24 Januari hingga 24 Februari 2020, wisatawan tidak diperkenankan untuk menggunakan kendaraan bermotor, yang diharapkan bisa mengembalikan keselarasan dan kesederhanaan dalam hidup.

Kepala Sub Bagian Data Evaluasi Pelaporan dan Kehumasan Balai Besar TNBTS Sarif Hidayat mengatakan bahwa kesepakatan untuk pelaksanaan bulan bebas kendaraan bermotor atau car free month di kawasan Bromo tersebut, untuk menghormati kearifan lokal masyarakat Tengger.

Selain untuk menghormati budaya masyarakat Tengger, pelaksanaan bulan bebas kendaraan bermotor tersebut, juga memberikan waktu bagi kawasan Bromo untuk memulihkan ekosistem yang ada dari paparan gas karbon monoksida.

"Ini merupakan salah satu implementasi sepuluh cara baru pengelolaan kawasan konservasi. Yaitu penghormatan terhadap kearifan lokal, sekaligus momentum untuk memulihkan ekosistem kawasan Bromo," kata Sarif.

Kendaraan bermotor jenis apapun tidak diperbolehkan memasuki kawasan Laut Pasir Tengger, Savana Telletubies, atau mulai dari pintu masuk Tengger Laut Pasir di Cemoro Lawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.

Kemudian, pembatasan juga dilakukan pada pintu masuk Coban Trisula, Jemplang, Kabupaten Malang serta pintu masuk Dingklik Penanjakan, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Dukungan Pelaku Jasa Wisata

Penerapan bulan bebas kendaraan bermotor di kawasan Bromo, tentunya memiliki dampak yang tidak kecil terhadap para pelaku jasa wisata, utamanya penyedia jasa angkutan jip. Kendaraan itu, merupakan moda transportasi utama bagi wisatawan untuk menuju Bromo.

Sebelum adanya penerapan bulan bebas kendaraan bermotor di Bromo tersebut, para penyedia jasa sewa angkutan jip dari wilayah Malang Raya, bisa menyewakan kurang lebih 20 unit jip per hari kepada para wisatawan.

Namun, dengan adanya penerapan bulan bebas kendaraan bermotor tersebut, para pelaku jasa wisata yang tergabung dalam Paguyuban Jip Wisata Malang Raya, tidak melayani penyewaan jip sama sekali, alias dihentikan untuk menghormati Wulan Kepitu, dan konservasi Bromo.

Ketua Paguyuban Jip Wisata Malang Raya Idhamsyah Putra menyatakan bahwa, dengan adanya ketentuan yang berlaku pada 24 Januari hingga 24 Februari 2020 tersebut, pendapatan para pelaku usaha jelas mengalami penurunan.

Namun, para anggota Paguyuban Jip Wisata Malang Raya tersebut menyatakan tidak keberatan dengan pelaksanaan bulan bebas kendaraan tersebut, untuk menghormati adat masyarakat Suku Tengger sekaligus konservasi terhadap wilayah Bromo.

"Dari sisi pemasukan memang menurun, tapi tidak ada masalah bagi kami, karena ini untuk adat istiadat dan konservasi Bromo. Saya dan teman-teman menghormati itu," kata Idhamsyah.

Dengan tidak dioperasikannya seluruh jip yang berada di bawah naungan Paguyuban Jip Wisata Malang Raya tersebut, para wisatawan yang akan menuju Bromo, dialihkan dengan menggunakan kendaraan jenis lain hingga titik-titik yang sudah ditentukan.

Dari titik tersebut, para wisatawan yang ingin menikmati keindahan Bromo bisa berjalan kaki, bersepeda, atau menyewa kuda dari para penduduk setempat. Untuk menyewa kuda tersebut, wisatawan harus menyiapkan uang kurang lebih sebanyak Rp 250.000.

Bulan tanpa kendaraan bermotor tersebut, diharapkan mampu memberikan waktu bagi Bromo untuk memulihkan diri, dan menyajikan nuansa lain sebagai pemikat bagi para wisatawan dalam maupun luar negeri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement