REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Ekosistem Nusantara (Eco Nusa) meminta pemerintah untuk mengusung kedaulatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan hutan di wilayah timur Indonesia. Terutama di Tanah Papua, dan Maluku. Direktur Eco Nusa Bustar Maitar mengatakan, hutan di dua provinsi kepulauan tersebut terancam dan belum memihak untuk kepentingan masyarakat asli setempat.
Bustar mengatakan, catatan Eco Nusa menebalkan hutan di Papua dan Maluku, saat ini menjadi payung alam terbesar di Indonesia. Bahkan dunia. Total tutup hutan di empat provinsi dua kepulauan tersebut, mencapai 38,6 juta hektare. Sekitar 44 persen, dari luasan hutan di Indonesia yang luasnya mencapai 88,4 juta hektare. Namun, cakupan hutan tersebut pengelolalaannya belum menerapkan sistem keadilan.
Terutama kata Bustar, terhadap masyarakat adat. Padahal kata dia, selain menjadi cakupan hutan terluas di dunia, hutan hujan di Maluku, dan Papua tersebut juga pusat dari kelestarian masyarakat adat.
“Yayasan Eco Nusa melihat potensi besar hutan di Tanah Papua dan Maluku terancam. Hutan masyarakat adat di Papua dan Maluku di ujung tanduk karena investasi yang tidak memihak pada masyarakat adatnya,” kata Bustar saat diskusi Eco Nusa di Jakarta, Selasa (28/1).
Bustar mengatakan, salah satu yang mengancam tergerusnya hutan hujan di dua kepulauan itu akibat maraknya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Menurut dia, pemapasan lahan hutan demi perkebunan sawit, tak menguntungkan bagi masyarakat setempat. Karena, perkebunan kelapa sawit hanya memberikan keuntungan bagi para investor. Padahal, hutan tersebut, dapat menghidupi masyarakat asli di dua kepulauan itu turun temurun.
“Eco Nusa mengajak pemerintah, maupun pihak nonpemerintah untuk mengelola hutan ini secara transparan, berdaulat, dan akuntabel, yang berbasis penguatan masyarakat lokal,” ujar dia.
Bustar mendorong, agar pemerintah menggerakkan sektor alternatif di luar perkebunan sawit demi menjaga hutan Papua dan Maluku, tetap lestari. “Sektor alternatif tersebut, seperti gerakan penguatan sektor kelautan, dan pengelolaan sumber daya kelautan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan,” sambung dia.
Bupati Kaimana di Papua Barat Matias Mairuma mengatakan, perkebanan kelapa sawit di Bumi Cenderawasih saat ini memang menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan di Indonesia. Di Papua, pun Papua Barat, perkebunan kelapa sawit memang semestinya mendapat penolakan. Karena bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan, perkebunan kelapa sawit tak memberikan nilai tambah bagi masyarakat asli di Papua dan Papua Barat.
Di wilayah tingkat dua yang ia pimpin, Kabupaten Kaimana, Matias memastikan tak akan pernah mengizinkan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. “Saya sebagai kepala daerah memberikan proteksi kepada masyarakat saya. Sehingga apakah sudah tidak ada lagi jenis investasi lain selain kelapa sawit?,” ujar Matias.
Bahkan di sisa tahun jabatannya, Matius menjanjikan untuk mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang menolak investasi perkebunan kelapa sawit.
Menurut Matias, masih ada sektor lain dari Papua, dan Papua Barat yang menjadi potensi asli sumber daya. Seperti kata dia, dalam sektor kelautan dan perikanan, juga pariwisata hutan, dan bahari. Ragam sektor tersebut, lebih ramah lingkungan, yang tak mengganggu kelestarian hutan dan lingkungan.
“Seharusnya di Papua memang tidak perlu ada sawit. Karena tidak ada sawit, kami di sana juga hidup,” ujar Matias.