Jumat 24 Jan 2020 14:31 WIB

LPSK: Vonis untuk Pelajar yang Bunuh Begal Sudah Tepat

Majelis hakim telah menggunakan perspektif anak dalam menjatuhkan vonis pada pelajar

Begal Motor (ilustrasi)
Foto: Foto : Mardiah
Begal Motor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Malang, Jawa Timur, terhadap pelajar kelas XII SMA yang membunuh begal dengan 1 tahun pembinaan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam, Wajak, sudah tepat dan layak mendapat apresiasi.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan sudah selayaknya penanganan kasus pidana yang melibatkan anak, seperti yang terjadi di Malang, mendapatkan perlakuan tidak biasa. Hakim harus benar-benar cermat mengambil pertimbangan sebelum menjatuhkan hukuman kepada pelaku anak. Pada kasus ini, Edwin menilai majelis hakim telah menggunakan perspektif anak dalam menjatuhkan vonis.

"Satu pelajaran yang bisa kita petik dari putusan kasus anak di Malang, pada intinya seluruh penanganan kasus pidana terhadap anak sebagai pelaku harus dengan 'treatment' khusus," ujar Edwin.

Lebih lanjut, Edwin berharap agar kedepannya majelis hakim yang menangani kasus dengan pelaku anak dapat merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai salah satu bahan pertimbangan sebelum menjatuhkan vonis.

Poin penting PERMA tersebut adalah, Hakim wajib menyelesaikan persoalan pidana anak dengan acara Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Memang diakui, prosedur hukum ini masih tergolong anyar dalam sistem dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

Terlepas dari kasus ZA, Edwin berpendapat bahwa Institusi penghukuman bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.

'Proses penghukuman harus menjadi jalan terakhir atau dalam bahasa hukum dikenal istilah ultimum remedium," kata Edwin.

Untuk itu, penegak hukum perlu menggunakan paradigma dan pendekatan hukum baru dalam menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan anak.

"Konsep restoratif justice (keadilan restoratif) perlu menjadi pertimbangan yang sangat penting bagi penegak hukum dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak," kata Edwin.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement