Sabtu 25 Jan 2020 05:16 WIB

Ketahanan Pesantren (2)

Pesantren dengan ideologi Islamisme dan praksis jihadisme berjumlah sangat sedikit.

Azyumardi Azra
Foto: Republika
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Sekali lagi, pesantren dengan ideologi Islamisme dan praksis jihadisme berjumlah sangat sedikit—sekitar kurang dari 100-an. Tetapi wacana dan perhatian pengamat, peneliti, dan Kementerian/ Lembaga (K/L) pemerintah pada pesantren semacam ini bisa tampaknya cukup besar.

Baca Juga

Sejauh ini, tidak ada angka pasti berapa banyak pesantren arus utama yang berjumlah lebih 28 ribu di seluruh Indonesia tersusupi dan terpa par paham serta praksis Islamisme dan jihadisme. Tetapi agaknya, ada satu atau dua pesantren yang meninggalkan Islam Wasathiyah, ikut paham lain. Di sinilah relevansi pembicaraan tentang ketahanan dan kerentanan pesantren—sekali lagi pesantren Wasathiyah; bukan pesantren Salafi- Wahabi dan lain yang didirikan dalam rangka ideologi Islamisme-jihadisme.

Dalam kaitan itu, penelitian CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Convey Indonesia melacak ketahanan pesantren—daya tahan menghadapi paham dan praksis Islamismejihadisme. Dan sebaliknya memiliki kerentanan, kelemahan yang membuatnya mudah terseret ke paham Islamisme-jihadisme.

Untuk melihat ketahanan atau sebaliknya kerentanan pesantren terhadap Islamisme-jihadisme, penelitian ini mengaitkan istilah 'keta hanan' dengan 'resiliensi' (Inggris, resilience) yang didefinisikan sebagai: "the capacity to recover quickly from difficulties", atau "the ability to become strong", 'kapasitas untuk pulih dari kesulitan atau kemampuan menjadi kuat'. Selain itu, berarti 'kemampuan bertahan dan tidak rentan ter ha dap tantangan, bahaya, dan ancaman tertentu'.

Pengertian lebih lengkap diberikan Rockefeller Report (2014) yang mendefinisikan resiliensi atau ketahanan sebagai: 'kemampuan individu, komunitas, dan sistem [dalam hal ini, pesantren Wasathiyah] bertahan, beradaptasi, dan tumbuh ketika menghadapi tekanan dan guncangan, dan bahkan mampu bertransformasi ketika keadaan tertentu menghendaki'.

Keadaan kebalikan dari 'ketahanan' atau resiliensi adalah 'kerentanan' atau 'vulnerabilitas' (Inggris, vulnerability). Dalam berbagai kamus, vulnerability diartikan sebagai: 'keadaan rentan dan lemah terhadap tantangan atau ancaman tertentu; ketidakmampuan atau kelemahan ketika berhadapan dengan risiko tertentu'.

Memandang pengertian itu, penelitian CSRC UIN Jakarta dan Convey Indonesia berhujjah, 'kalau ketahanan merupakan karakteristik yang mengarahkan pada hasil positif, sebaliknya kerentanan adalah karakteristik yang mengarahkan pada hasil negatif'. Kerentanan juga terkait berbagai faktor risiko, seperti pengaruh lingkungan tidak kondusif yang membuat orang, komunitas, dan lembaga pemerintah atau swasta—termasuk lembaga pendidikan semacam pesantren—menjadi rentan dan rapuh terhadap tantangan atau ancaman tertentu.

Dalam kaitan dengan penyebaran atau infiltrasi paham dan praksis Islamisme-jihadisme, apakah individu atau kelompok manusia atau institusi bisa memiliki potensi atau faktor tertentu yang membuat mereka memiliki ketahanan atau resiliensi. Sebaliknya, ada keadaan yang membuat individu atau kelompok manusia yang rentan—mudah terpengaruh atau terbawa ke dalam wacana dan praksis Islamisme-jihadisme.

Penelitian ini juga mencatat beberapa faktor risiko yang membuat individu, kelompok, dan lembaga tertentu rentan pada pengaruh dan tarikan wacana dan praksis Islamisme-jihadisme. Beberapa faktor risiko: pertama, berpikir ideologis [seperti Islamisme] secara hitam putih; kedua, sukai indoktrinasi daripada dialog; ketiga, afiliasi dengan kelompok indoktrinatif ideologi Islamisme-jihadisme; keempat; berpersepsi tentang kezaliman dan ketidakadilan terhadap diri dan kelompok; kelima, berpegang kuat pada emosi dan ghiral moral.

Faktor-faktor risiko juga bisa berkembang di lingkungan pendidikan, seperti pesantren atau lembaga pendidikan lain. Pertama, dominannya metodologi pembelajaran, pengajaran, dan pengasuhan yang menekankan indoktrinasi ideologis, cari berpikir absolutis hitam putih; kedua, akses yang mudah bagi orang, kelompok atau jaringan Islamis untuk masuk; ketiga penyebaran informasi tentang konflik yang bersumber dari ketidakadilan dan kezaliman penguasa atau kelompok hegemonik; dan keempat, penanaman intensif semangat dan ghirah melawan ketidakadilan dan kezaliman.

Faktor-faktor risiko tersebut di institusi pendidikan, termasuk pesantren dapat dihadapi dengan: pengembangan cara berpikir kritis, peningkatan lingkungan sosial yang terbuka dan toleran, penyediaan kiai/guru Wasathiyah, dan peningkatan keterlibatan seluruh warga lembaga pendidikan dengan lingkungan masyarakatnya lebih luas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement