Kamis 23 Jan 2020 09:15 WIB

Konflik Manusia dan Harimau Terjadi 23 Kali Selama 2019

Konflik dengan harimau termasuk paling tinggi di antara satwa lainnya.

Konflik Manusia dan Harimau Terjadi 23 Kali Selama 2019
Foto: Antara/Muhammad Arif Pribadi
Konflik Manusia dan Harimau Terjadi 23 Kali Selama 2019

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan mencatat frekuensi konflik harimau sumatera dan manusia terjadi sebanyak 23 kali selama 2019. Konflik tersebut termasuk paling tinggi di antara satwa lainnya.

Kepala BKSDA Sumsel, Genman Suhefti Hasibuan mengatakan konflik tersebut juga mengakibatkan lima orang di tiga wilayah meninggal dunia pada rentang November-Desember 2019. "Frekuensi konflik antara manusia dan harimau ini agak tidak biasa, sebab pada 2017 dan 2018 tidak ada laporan konflik, tetapi pada 2019 naik drastis," ujar Genman, Kamis (23/1).

Baca Juga

Menurutnya, secara umum ada empat spesies besar yang paling banyak berkonflik dengan manusia di wilayah kerja BKSDA Sumsel yang juga mencakupi Provinsi Bangka Belitung, yakni harimau, beruang, gajah, dan buaya.

Total frekuensi konflik keempatnya selama 2017-2019 tercatat 83 kali. Frekuensi tertinggi diduduki buaya, yakni 2 kali berkonflik pada 2017, lalu 14 kali pada 2018 dan 21 kali pada 2019. Total ada 37 kali konflik yang sebagian besar terjadi di Bangka Belitung dan sebagian kecil di Sumatra Selatan.

Paling tinggi kedua barulah harimau yang tercatat 23 kali berkonflik di Kabupaten Lahat, Muara Enim, Ogan Komering Ulu (OKU), Musi Rawas Utara, Musi Banyuasin Empat Lawang, dan Kota Pagaralam dengan catatan pada 2017 serta 2018 frekuensi konflik tidak ada. Kemudian konflik dengan beruang tercatat 0 kali pada 2017, 1 kali pada 2018 dan 9 kali pada 2019, sehingga total ada 10 kali konflik yang umumnya terjadi di sekitar Bukit Barisan.

"Sementara untuk gajah sumatra tercatat 4 kali pada 2017, 3 kali pada 2018 dan 6 kali pada 2019, jadi totalnya 13 kali, umumnya terjadi di OKU Selatan, OKI dan Banyuasin," ujar Genman.

Konflik satwa dan manusia tersebut disebabkan degradasi kawasan hutan yang mengganggu habitat keempatnya seperti berkurangnya luas teritori hingga menipisnya sumber makanan akibat perburuan liar di dalam hutan lindung. "Berkali-kali kami imbau kepada masyarakat agar tetap menjaga keutuhan habitat satwa terutama di dalam hutan lindung, jangan lagi ada perambahan dan perburuan," ujar Genman.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement