Rabu 22 Jan 2020 16:06 WIB

Aturan Sertifikasi Halal yang Ikut Terkoreksi Omnibus Law

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga akan mengoreksi aturan sertifikasi halal.

Logo halal terpampang dipintu masuk salah satu restoran cepat saji di Jakarta, Ahad (16/10).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Logo halal terpampang dipintu masuk salah satu restoran cepat saji di Jakarta, Ahad (16/10).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Adinda Priyanka, Umar Mukhtar, Fuji Eka Permana, Antara

Publik sempat dihebohkan oleh beredarnya draf Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja yang menghapus sejumlah pasal dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam draf yang beredar di kalangan wartawan, Selasa (21/1), penghapusan tersebut tertulis dalam pasal 552 draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang mengakibatkan sertifikasi halal sebuah produk tidak wajib hukumnya.

Baca Juga

"Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku," bunyi pasal 552 draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang diterima Republika.co.id, Selasa (21/1).

Pasal-pasal dalam UU 22/2014 yang dibuldoser oleh Omnibus Law adalah Pasal 4, Pasal 29, Pasal 42, dan Pasal 44.

Namun, draf Omnibus Law yang beredar itu sudah dibantah oleh pemerintah. Menurut Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono, RUU tersebut bisa dipastikan bukan draf resmi dari pemerintah, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Susiwijono menuturkan, draf RUU yang sedang dalam proses finalisasi berjudul Cipta Lapangan Kerja. Sedangkan, draf RUU yang beredar berjudul Penciptaan Lapangan Kerja.

"Sudah dipastikan bukan dari pemerintah," tuturnya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (21/1).

photo
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono (kiri) dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani.

Selain itu, Susiwijono menamabahkan, Kemenko Bidang Perekonomian juga tidak pernah menyebarluaskan draf RUU Omnibus Law dalam bentuk apa pun sampai proses pembahasan selesai. Sesuai mekanisme penyusunan Undang-Undang (UU), Susiwijono mengatakan, pemerintah sudah merampungkan substansi RUU Cipta Lapangan Kerja. Draf itu juga telah diusulkan oleh Pemerintah kepada Badan Legislasi Nasional DPR RI untuk dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional. 

“Berdasarkan informasi jadwal Sidang di DPR RI, hari ini DPR RI akan menetapkan Daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020,” katanya.

Setelah DPR RI menetapkan RUU Cipta Lapangan Kerja tercantum dalam Daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020, pemerintah segera menyiapkan Surat Presiden (Surpres) kepada Ketua DPR RI.

Presiden akan menyampaikan Surpres tersebut kepada Ketua DPR RI, disertai dengan draft Naskah Akademis dan RUU Cipta Lapangan Kerja. "Sampai saat ini, Surat Presiden tersebut belum disampaikan," tutur Susiwijono.

Kementerian Agama (Kemenag) pun mengklarifikasi bahwa, memang ada Omnibus Law yang terkait dengan sertifikasi halal. Menteri Agama Fachrul Razi menerangkan, Omnibus Law itu nantinya tidak menghapus aturan syarat jaminan produk halal, tetapi mempersingkat proses pengurusan sertifikat halal.

"Omnibus Law mengoreksi pasal UU lain. Di Kemenag, terkait sertifikat halal," kata Fachrul, berbicara di Batam, Kepulauan Riau, Selasa (21/1).

Menurut dia, sertifikasi halal belum berjalan seperti yang diinginkan. Ada yang dapat diurus dalam waktu singkat, ada pula yang membutuhkan waktu lama.

Ia mengatakan, dengan perbaikan aturan, maka diharapkan sertifikat halal dapat selesai dalam waktu 21 hari pengurusan. Dalam waktu 21 hari itu, maka dapat ditetapkan apakah sertifikat halal dapat diterbitkan atau tidak.

"Dengan tidak menyogok," kata dia.

Staf Khusus Wakil Presiden Ma'ruf Amin Bidang Komunikasi dan Informasi, Masduki Baidlowi menuturkan, Omnibus Law RUU Penciptaan Lapangan Kerja tidak serta-merta mencabut pasal terkait kewajiban sertifikasi halal dalam UU Jaminan Produk Halal (JPH). Sebab, menurut dia, hal itu masih harus melalui proses yang panjang.

"Tidak ada serta-merta mencabut pasal yang berkaitan dengan kewajiban fatwa (halal) karena nantinya masih akan berproses lama. Akan berhadapan dengan sejumlah pihak, umat, yang umat itu pastinya punya kepedulian dengan persoalan halal," kata dia saat di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Selasa (21/1).

Masduki menjelaskan, Omnibus Law soal sertifikasi halal ini masih dalam proses pembahasan yang sifatnya internal. Di pihak pemerintah pun, kata dia, belum ada kata sepakat. Dalam rapat terakhir, dibahas soal upaya mencari solusi agar ketika UU JPH dijalankan olej umat Islam, itu terjamin betul-betul dalam mengonsumsi makanan yang halal dan bergizi atau Halalan Toyyiban.

[video] Apa Itu Omnibus Law?

DPR belum terima draf

Ketua DPR Puan Maharani menegaskan DPR belum menerima draf Omnibus Law manapun yang diusulkan oleh pemerintah. Untuk itu, Puan meminta masyarakat tidak terpengaruh dengan draf yang sudah beredar.

"Yang saya bisa sampaikan di sini adalah Jangan sampai kita terpengaruh oleh draf-draf yang kemudian abal-abal dalam artian belum ada draf resmi yang disampaikan oleh pemerintah ke DPR terkait dengan Omnibus Law," ujar Puan di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1).

Puan mengaku tidak mengetahui asal muasal draf yang sempat beredar kemarin. Ia kembali menegaskan bahwa DPR RI belum menerima draf itu secara resmi dari pemerintah selaku pengusul.

"Jadi kalau ada yang beredar itu saya enggak tahu dari mana asalnya atau Berasal dari mana sehingga kemudian menimbulkan salah persepsi ataupun spekulasi yang tidak mendasar," katanya.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Rieke Dyah Pitaloka menyebut poin - poin dalam Omnibus Law masih bisa dibahas baik oleh parlemen maupun pemerintah. Pembahasan itu dinilai Rieke perlu apabila terdapat hal-hal yang menjadi sorotan publik.

"Tidak menutup kemungkinan bahwa ada hal-hal yang harus dibahas lagi kalau itu menyangkut hal yang sangat urgent tidak ada larangan untuk membahasnya," ujar Rieke di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1).

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Mastuki menegaskan sertifikasi halal sifatnya tetap wajib. Menurutnya, kewajiban sertifikasi halal tidak dibahas di RUU Omnibus Law meski Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) termasuk yang dibahas dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Mastuki mengatakan, beberapa pasal di dalam UU JPH terdampak pembahasan penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Ia juga ikut terlibat dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

photo
Petugas Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memusnahkan susu kaleng tanpa memiliki logo halal di labelnya, di Kantor BPOM Padang, Sumatera Barat, Senin (29/8).

Ia menyampaikan, pembahasan yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan dan kementerian/lembaga terkait ini sudah berlangsung hingga pertengahan Januari 2020. Omnibus Law dalam konteks jaminan produk halal ditekankan pada empat hal.

"Pertama, penyederhanaan proses sertifikasi halal, RUU Omnibus Law ini semangatnya pada percepatan waktu proses sertifikasi halal di BPJPH, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), jadi harus ada kepastian waktu," kata Mastuki melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Selasa (21/1).

Ia menjelaskan, yang kedua, pembebasan biaya sertifikasi halal bagi usaha mikro dan kecil (UMK). Istilah yang muncul dalam pembahasan RUU Omnibus Law adalah dinolrupiahkan. Sementara pada UU JPH sebelumnya menggunakan istilah fasilitas bagi UMK.

Ketiga, mengoptimalkan peran dan fungsi LPH, auditor halal, dan penyedia halal untuk mendukung pelaksanaan sertifikasi halal. Maka sejumlah persyaratan, prosedur, dan mekanismenya akan disesuaikan.

Keempat, sanksi administratif dan sanksi pidana. Arahnya untuk mendorong pelaku usaha agar melakukan sertifikasi halal.

"Jadi pendekatan yang dikedepankan adalah persuasif dan edukatif. Karena itu, dalam pembahasan kami menghindari sanksi pidana, hanya sanksi administratif," ujar Mastuki.

Mastuki menjelaskan, ada banyak pasal dalam UU JPH yang dibahas dan akan mengalami penyesuaian. Beberapa pasal yang dimaksud di antaranya pasal 1, 7, 10, 13, 14, 22, 27-33, 42, 44, 48, 55, 56, dan 58. Dia menegaskan pasal 4 tentang kewajiban sertifikasi halal bagi produk, tidak jadi pembahasan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement