Selasa 21 Jan 2020 21:06 WIB

Teladan Silaturahim Muhammadiyah

Anjuran Nabi untuk menyambung silaturahim ternyata tidak mudah dilaksanakan.

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Teladan Silaturahim Muhammadiyah
Teladan Silaturahim Muhammadiyah

YOGYAKARTA. Anjuran Nabi untuk menyambung silaturahim ternyata tidak mudah dilaksanakan. Nabi Muhammad sampai mengimingi ganjaran khusus bagi yang konsisten melazimkan laku kebaikan ini. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambungkan silaturahim.”

Tentang praktik silaturahim, saya belajar banyak dari para sesepuh Muhammadiyah. Utamanya dari Buya Ahmad Syafii Maarif, Muchlas Abror, dan Rosyad Sholeh. Mereka telah melalui berbagai dinamika Muhammadiyah hingga tingkatan tertinggi. Ketiganya memiliki kekhasan karakter masing-masing. Di antara yang menyamakan mereka adalah gaya hidup sederhana, pengabdian yang tulus, dan terkadang enggan menonjolkan diri.

Buya Syafii terlahir pada 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Anak kampung ini dikenal luas sebagai Ketua PP Muhammadiyah 1998-2005. Di usia senjanya, ia masih aktif sebagai Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah. Buya Syafii juga diamanahi jabatan sebagai Dewan Etik MK. Usia tak menghalanginya menunaikan panggilan tugas kemasyarakatan dan kebangsaan.

Muchlas Abror lahir di Wonosobo pada 11 september 1941. Pembawaannya tenang dan bersahaja. Ia kerap dijadikan simbol kearifan dan kebijaksanaan. Menjadi jembatan dan penyeru damai bagi yang bertikai. Sosok yang tampil dengan kelembutan ini pernah menjadi Ketua Hizbul Wathan dan Tapak Suci. Terakhir, ia menjadi salah satu Ketua PP Muhammadiyah periode 2005-2010. Selain di Suara Muhammadiyah, ia juga menjadi BPH Universitas Ahmad Dahlan.

Rosyad Sholeh lahir di Bojonegoro pada 27 Juli 1940. Sebagian usianya dihabiskan untuk pengabdian di Muhammadiyah, sejak di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah hingga jenjang Pimpinan Pusat. Sisanya dihabiskan untuk pengabdian pada negara. Ia pernah menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama DIY dan Jawa Tengah, sekretaris Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI, serta staf ahli Menteri Agama periode 1990-2000. Dia masih diamanahi sebagai Wakil Pimpinan Umum Suara Muhammadiyah.

Pada Selasa, 21 Januari 2020, redaksi Suara Muhammadiyah membersamai Buya Syafii dan Pak Muchlas Abror bersilaturahim ke kediaman Pak Rosyad Sholeh. Tokoh ini baru saja ditinggalkan sang istri tercinta, Hajah Siti Waznah, pada 11 Desember 2019. Saat itu, Buya Syafii dan Pak Muchlas sudah datang melayat, bertakziyah, dan mendoakan almarhumah. Namun, rasanya itu tak cukup bagi mereka.

Dalam silaturahim kali ini, kami sangat menikmati para sesepuh Muhammadiyah ini bercengkrama dengan apa adanya. Bercerita tentang keluarga. Tentang anak cucu. Mereka tak punya agenda dan hasrat pribadi yang masih perlu dikejar habis-habisan dengan berbagai bujuk rayu. Bagi mereka, pengabdian selama ini sudah cukup menjadi sumber kegembiraan di saat bernostalgia.

Anak-anaknya sudah menjadi dirinya sendiri dengan berbagai karir yang dirintis. “Para tokoh Muhammadiyah biasanya tak merepotkan anak-anaknya meskipun sang anak sudah sukses,” kata Pak Muchlas. Meski gerak sudah semakin terbatas, ketiganya sama sekali tak membebani orang lain. Pernah menduduki jabatan tinggi, sama sekali tak membuat mereka lupa diri dan haus puja-puji. Buya Syafii memuji Pak Rosyad sebagai sosok yang sangat tertib dan tertata, bahkan tergambar dalam tata letak dan kerapian rumah.

Pak Rosyad bercerita tentang dirinya yang baru saja ditinggal sang istri. Menurutnya, Siti Waznah selama ini telah mendampinginya dengan penuh kesetiaan dan menjadi parnernya yang baik dalam menjalani kehidupan. “Banyak hal yang baru terasa setelah dia wafat,” tuturnya. Kalimat ini memberi pesan yang mendalam, bahwa semua manusia akan menghadapi kematian. Tugas kita adalah merencanakan kematian yang seperti apa.

Pada tiga tokoh sepuh ini, kita meneladani tentang arti penting silaturahim. Begitulah karakter Muhammadiyah. Di saat kondisi bangsa dipenuhi suasana penuh pertentangan, silaturahim menjadi jalan pembuka dialog dan penyelesaian semua masalah.

Konon, Imam Al-Ghazali pernah berujar, “Manusia yang paling lemah ialah orang yang tidak sanggup mendapatkan teman. Dan yang lebih lemah daripada itu ialah orang yang mensia-siakan teman yang telah diperolehnya.” (ribas)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement