Selasa 21 Jan 2020 02:00 WIB

Penyimpangan Makna Jawara Banten Saat Ini Versi Sosiolog

Jawara pada masa dulu adalah santri yang mendalami agama.

Rep: Alkhaeledi Kurnialam/ Red: Muhammad Hafil
Penyimpangan Makna Jawara Banten Saat Ini Versi Sosiolog. Foto: Sejumlah jawara melakukan atraksi debus saat hendak mencatatkan Rekor MURI Pertunjukan Debus Terbanyak di Alun-alun Serang, Banten, Ahad (19/11).
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Penyimpangan Makna Jawara Banten Saat Ini Versi Sosiolog. Foto: Sejumlah jawara melakukan atraksi debus saat hendak mencatatkan Rekor MURI Pertunjukan Debus Terbanyak di Alun-alun Serang, Banten, Ahad (19/11).

REPUBLIKA.CO.ID, SERANG--Predikat jawara di Banten saat ini lebih sering dikaitkan dengan seorang yang ditakuti,  punya pengaruh di masyarakat bahkan cenderung berkonotasi negatif. Padahal, istilah ini merupakan sistem sosial masyarakat Banten yang sejak masa kesultanan terjadi dan menghasilkan era kegemilangan tanah di Selatan Jawa ini.

Hal ini dijelaskan Sosiolog Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Nurul Hayat, menurutnya sistem sosial di Banten yang terbangun sejak masa kesultanan meliputi Ulama dipuncak struktur sosial, kemudian Umaro dan berikutnya adalah para jawara.

Baca Juga

Hayat menuturkan, Ulama adalah para penyebar syiar islam yang mengayomi para umaro, jawara hingga masyarakat biasa. Sedangkan umara adalah para sultan atau pemimpin kerajaan saat itu, kemudian Jawara adalah para santri atau murid dari ulama yang dibekali dengan kemampuan fisik untuk berperang dan turut mengayomi masyarakat.

"Jawara itu para santri, mereka orang-orang yang mendalami agama, mimiliki sikap-sikap kepahlawanan dan mempunyai kemampuan fisik untuk membela diri. Mereka menimba ilmu dari para kyai dan menjadi buffer zone (penyangga) dari ulama dan umaro. Bukan menjadi bandit sosial yang sekarang banyak dipahami," jelas Hayat, Senin (20/1).

Adanya penyimpangan makna jawara saat ini, kata Hayat, sebenarnya sudah terjadi sejak kesultanan Banten runtuh pada 1813 saat masa Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin. "Saat kesultanan runtuh ada kekosongan kepemipinan kala itu, sistem sosial yang sudah ada akhirnya hancur," jelasnya.

Setelah masa kesultanan berakhir sistem sosial masyarakat yang terjadi, kata Hayat justru terbalik. Jawara justru di posisi teratas yang memimpin dan mengontrol para umaro hingga ulama. Istilah jawara saat ini menurutnya lebih banyak dikenal dengan para bandit sosial atau preman yang mengkerdilkan sistem yang sudah dibangun para sultan.

"Jawara itu harusnya menjadi pengayom, mereka tunduk kepada ulama. Bukan menindas masyarakat atau bandit sosial jawara itu seharusnya peduli lingkungan, bukan malah ikut melakukan pertambangan atau galian tanah liar," jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement