REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tahun ini, Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura (TPH) Provinsi Jawa Barat (Jabar) akan menggenjot produksi komoditas organik. Khususnya, untuk padi dan sayuran holtikultura.
Menurut Kepala Dinas TPH Provinsi Jawa Barat Hendy Jatnika, upaya memperbanyak komoditas organik ini juga dalam rangka melanjutkan program pada tahun-tahun sebelumnya.
"Kita melanjutkan dan lebih memperbanyak lagi komoditas pangan organik. Padi organik dan holtikultura organik terutama sayuran," ujar Hendy, Senin (20/1).
Hendy mengatakan, bukan tanpa alasan pihaknya akan menggenjot produksi komoditas organik ini. Mengingat, semakin banyaknya permintaan dari masyarkat agar makanan yang dikonsumsinya benar-benar aman dari zat berbahaya atau residu. Hal ini, berkaitan pula dengan makin tingginya pendapatan dan standar hidup masyarakat.
"Masalah harga kadang-kadang tidak menjadi pertimbangan. Ada segmen terutama di kota-kota besar yang harganya mahal tapi yang penting aman dikonsumsi," katanya.
Hendy menjelaskan, Jawa Barat sendiri adalah provinsi yang memiliki kota/kabupaten yang penghasilan masyarakatnya cenderung tinggi. Karena alasan itu, pihaknya memperbanyak komoditas organik.
"Kalau sayuran dan padi sudah jelas permintaanya. Termasuk rumah-rumah makan besar yang ada di Jabar juga sudah masuk permintaannya, seperti timun yang bebas residu dan lain-lain," paparnya.
Sejumlah kelompok tani di beberapa kota kabupaten, kata dia, sudah mulai menjajal komoditas organik ini. Misalnya untuk padi organik di antaranya, sudah ditanam di Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Bandung, Garut dan Kota Purwakarta.
"Karena kalau padi organik sumber airnya harus betul betul tidak tercemar juga. Kemudian kalau sayuran organik sudah ada di Lembang Parongpong (Kabupaten Bandung Barat), lalu di Cianjur," katanya.
Hendy menaksir, saat ini ketersediaan padi organik belum mencapai di angka 10 persen dari jumlah beras unggulan di Jabar. Begitu pula untuk sayuran. "Kalau kita beras unggulan bisa produksi 7 juta ton. Paling beras organiknya masih ribuan ton. Karena belum luas," katanya.
Dinasnya pun, kata dia, tidak akan memproduksi komoditas organik ini secara masal. Mengingat memiliki segmen yang berbeda dari anorganik. Adapun untuk organik, lebih menekankan untuk segmen horeka (hotel, restoran, kafe) bukan di pasar umum atau pasar induk.
"Kan beras organik itu mahal. Beras premium paling Rp 9 ribu, kalau organik Rp 20 ribu. Kalau terlalu banyak nanti seperti beras biasa lagi bukan beras khusus," katanya.
Untuk memaksimalkan potensi komoditas pangan organik di Jabar, kata dia, tidak dapat dilakukan secara instan. Langkah pertama, yaitu mengajak para petani untuk menghentikan penggunaan pupuk anorganik. Pada 2020 ini, ia memastikan, akan melakukan pembinaan kepada petani untuk menjalankan pertanian yang bebas residu.
"Dan mudah-mudahan bisa berlanjut ke sertifikat organik. Itu target kita. Ada lembaganya kan lembaga sertifikat pangan organik (lpso) ada tujuh di Indonesia," katanya.
Hendy mengatakan, pihaknya tidak mengalami penolakan dari petani untuk mengaplikasikan pertanian organik di Jabar. Bahkan, saat ini cukup banyak petani muda dari kalangan milenial yang sudah teredukasi.
"Malahan banyak yang meminta ke kita, kami kasih tahu dan bimbing. Kadang kadang dengan fasilitas tidak banyak juga ngantri. Karena kan kita harus lihat juga dana," katanya.
Dalam melakukan pembinaan ini, kata dia, pihaknya bersinergi dengan dinas kota kabupaten. Namun, ia tak menampik, kendala yang kerap terjadi yaitu kesulitan untuk menembus segmen tertentu, seperti pasar moderen.
"Makanya mereka (petani) di kasih tahu untuk belajar penjualan online dan sebagainya," kata Hendy.