Ahad 19 Jan 2020 19:23 WIB

Antraks di Gunungkidul, Masyarakat Diharapkan Tenang

Peternak perlu melakukan penanganan bangkai hewan secara tepat.

Rep: my29/ Red: Fernan Rahadi
Petugas menyiapkan vaksin antraks di kantor Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul, Wonosari, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Jumat (17/1/2020).
Foto: Antara/Hendra Nurdiyansyah
Petugas menyiapkan vaksin antraks di kantor Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul, Wonosari, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Jumat (17/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali dihangatkan dengan kasus penyakit antraks yang beberapa waktu lalu terjadi di Gunungkidul. Antraks merupakan sebuah penyakit yang tidak mudah untuk dikendalikan karena bakteri yang mampu bertahan hidup hingga puluhan tahun.

“Hal ini diduga karena bakteri antraks bisa bertahan  di tanah hingga puluhan tahun dalam bentuk  spora, sehingga memungkinkan akan selalu munculnya kasus antraks kapan saja,” tutur pakar biologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof Wahyuni, pada jumpa pers di UGM, Sabtu (18/1).

Antraks merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri bacillus anthracis, sebuah bakteri yang mampu hidup puluhan tahun di daratan dalam bentuk spora. Meskipun penyakit ini bersumber dari binatang dan tidak menular dari manusia ke manusia, akan tetapi manusia pun bisa terjangkit penyakit ini,  dengan kontak langsung pada hewan yang sakit atau mengonsumsi daging hewan yang terkontaminasi spora antraks.

Wahyuni menuturkan bahwa dalam mengendalikan penyakit antraks tidak mudah, karena sulitnya mengetahui letak spora bakteri  yang keluar dari hewan. Untuk itu diharapkan peternak perlu melakukan penanganan bangkai hewan secara tepat.

Salah satu alternatif  yang bisa dilakukan adalah mengubur bangkai hewan dengan kedalaman 2 meter yang ditutup dengan tanah dan diberi insinfektan. Hal ini dilakukan sebagai pencegahan, khususnya di daerah endemik yang pernah terjangkit antraks.

“Pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan faksinisasi yang dilakukan setiap enam bulan sekali, dan dilakukannya pengawasan secara berkala,” katanya.

Di beberapa negara penanganan kasus antraks dilakukan dengan insenerator, yaitu dengan menghancurkan bangkai secara menyeluruh. Namun, alat tersebut belum bisa diterapkan untuk kasus penyakit ternak di Indonesia.

Proses penularan penyakit ini melalui beberapa cara. Pertama, antraks kulit yang penularannya melalui kontak langsung dengan binatang yang sakit atau mati. Kedua, antraks pencernaan yang disebabkan dari mengonsumsi daging yang terkontaminasi bakteri antraks. Ketiga, antraks pernafasan, hal ini terjadi ketika menghirup udara yang yang terkontaminasi bakteri antraks.

Diantara ketiga penularannya, yang paling sering adalah antraks kulit. Dengan gejala demam, bengkak, serta luka yang memunculkan kopeng menghitam tebal. “Meskipun demikian masyarakat tidak perlu berlebihan,hanya diperlukan siap siaga, dan orang yang keluar masuk kandang harus diberi disenfektan,” ungkap Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof Ali Agus  saat diwawancarai wartawan. Ia juga menyebutkan perlu dilakukan pembatasan mobilisasi orang dan ternak, agar  mengurangi resiko penularan serta langkah-langkah strategis lainnya terkait biosecurity.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement