Kamis 16 Jan 2020 21:09 WIB

Bantul Lengkapi Sarana Pengolahan Sampah

Ia mengimbau masyarakat Bantul mengelola sampah sejak dari rumah tangga.

Rep: my29/ Red: Fernan Rahadi
Antre Kendaraan Pembuangan Sampah. Kendaraan pengangkut sampah antre menunggu giliran membuang sampah di TPST Piyungan, Yogyakarta, Rabu (7/1).
Foto: Republika/ Wihdan
Antre Kendaraan Pembuangan Sampah. Kendaraan pengangkut sampah antre menunggu giliran membuang sampah di TPST Piyungan, Yogyakarta, Rabu (7/1).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul, DIY, telah memiliki sarana dan prasarana untuk mengolah sampah. Di antaranya adalah Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) di tingkat desa dan rumah pilah. 

"Rumah pilah memiliki tujuan untuk menampung sampah-sampah yang memungkinkan untuk didaur ulang dan digunakan kembali," kata Wakil Bupati Bantul, H Abdul Halim Muslih, saat menghadiri sebuah talkshow di Yogyakarta, Kamis (16/1).

Sementara TPSS, kata dia, adalah untuk menampung sampah residual yang nantinya akan dibuang ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan. Hal ini dilakukan agar penumpukan sampah di TPST bisa ditekan sekecil-kecilnya.

Dengan dilakukannya pemilahan sampah organik, residual, dan sampah yang masih bernilai ekonomis, diharapkan rumah-rumah pilah di Bantul memiliki daftar harga masing-masing sampah. Hal ini juga telah disosialisasikan di berbagai tempat salah satunya di Panggungharjo dengan program mengubah sampah menjadi emas.

Dengan didirikannya semacam bank sampah yang menampung sampah ekonomis warga, setiap warga yang menyetorkan sampah ekonomisnya akan mendapatkan rekening yang dikonversi dalam bentuk rupiah. Akan tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak telaten karena melihat harga barang bekas yang relatif murah.

Halim mengungkapkan Pemkab Bantul menargetkan sebanyak 75 desa di Bantul harus memiliki rumah pilah. Diperkirakan hingga saat ini ada 30-an rumah pilah yang ada di 75 desa tersebut.

Ia juga menuturkan di luar ini semua ada Jaringan Pengelola Sampah Mandiri (JPSM), yang merupakan perusahaan kecil pengelolaan sampah yang dibina oleh pemerintah daerah. Mereka mengambil sampah dari rumah-rumah serta memilahnya sendiri dan warga membayar jasa untuk hal tersebut.

Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat Bantul mengelola sampah sejak dari rumah tangga. Sehingga dari rumah tangga bisa melakukan pengurangan produksi sampah dengan cara membawa tas kantong kain saat berbelanja. Hal ini dilakukan karena hasil survei menunjukkan bahwa sampah terbesar adalah plastik.

Halim menuturkan mengubah persepsi dan budaya masyarakat agar tidak membuang sampah di sungai memang susah. Karena budaya tersebut dibentuk oleh beberapa faktor, di antaranya faktor sosial, faktor agama, dan lain-lain. Berbagai imbauan pun telah dilakukan oleh pemerintah daerah seperti imbauan pada sisi etika yang tidak etis dan dari sisi etestika yang tidak indah.

“Ada dua pendekatan yang kami lakukan, pendekatan ekonomi dan pendekatan agama. Cara ini berhasil di beberapa tempat utamanya di Panggungharjo,” tuturnya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement