Rabu 15 Jan 2020 07:58 WIB

Korban Tsunami Selat Sunda Masih Menanti Huntap

Dari rautsan KK, masih tersisa 48 KK yang menginap di huntara saat bencana

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Esthi Maharani
Kondisi hunian sementara (huntara) salah seorang korban bencana tsunami Selat Sunda
Foto: Republika/Alkhaledi Kurnialam
Kondisi hunian sementara (huntara) salah seorang korban bencana tsunami Selat Sunda

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Warga korban bencana gelombang tsunami Selat Sunda, yang melanda pesisir selatan Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, masih berharap janji pemerintah menyediakan hunian tetap (huntap). Saat ini, warga masih bertahan di hunian sementara, sebagian lagi sudah pergi karena tak betah.

Kepala Desa Way Muli, Rohaidi mengatakan, pascabencana 22 Desember 2018 setahun terakhir, perkembangan pembangunan di desanya sudah mulai pulih. Menurut dia, ada perubahan  sedikit dibandingkan kondisinya pada saat bencana tsunami.

Bantuan dari berbagai pihak terus diterima terutama dari pihak ketiga (swasta) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sedangkan bantuan bangunan tempat tinggal baru tahap persiapan lahan huntap.

"Huntap lagi persiapan lahannya, sudah siap lahan 8.000 meter persegi. Bagaimana pembangunannya diserahkan pada Pemkab Lampung Selatan. Sekarang di area huntap baru tahap penentuan lokasi saja," kata Rohaidi kepada Republika, Senin (15/1).

Menurut dia, pascatsunami Selat Sunda, masih tersisa 48 kepala keluarga (KK) dari ratusan KK yang menginap di huntara saat bencana. Warga yang tidak kerasan tinggal di huntara, mereka mencari tempat bermukim di tempat lain. Sedangkan rumah-rumah warga yang berada di pesisir masih rata dengan tanah belum juga dibangun setahun ini, karena tidak ada biaya.

"Sebagian besar warga tidak mau lagi tinggal di huntara," ujarnya.

Sedangkan bantuan perahu nelayan, Rohaidi mengakui masih sangat minim sekali. Setahun bencana berlalu, nelayan yang melaut masih dapat dihitung dengan jari. Tidak adanya perahu, membuat nelayan terpaksa menganggur.

Dia menuturkan, nelayan tidak sanggup membeli atau membuat perahu, karena biayanya jutaan rupiah, sedangan untuk hidup sehari-hari saja mereka harus putar otak. Sebagian besar nelayan korban tsunami belum menerima bantuan perahu yang pernah dijanjikan pemerintah saat kedatangan Presiden Joko Widodo bersama menteri terkait pada 2 Januari 2019.

"Boleh dibilang baru lima persen saja yang mendapat bantuan perahu,” kata dia.

Syarlani, nelayan di Desa Way Muli, menyatakan belum sama sekali menerima bantuan perahu untuk melaut. Sejak rumah dan perahunya dihantam gelombang tsunami akhir tahun lalu, ia menganggur. Untuk membeli dan membuat perahu setidaknya membutuhkan Rp5-10 juta.

"Saya masih menunggu kalau pemerintah masih ingat janjinya ingin memberikan kami nelayan perahu, agar bisa melaut lagi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement