Senin 13 Jan 2020 23:15 WIB

9.801 Pasutri di Indramayu Bercerai Sepanjang 2019

Faktor ekonomi menjadi penyebab paling banyak alasan perceraian di Indramayu.

Ilustrasi Sidang Perceraian. Sebanyak 9.801 Pasutri di Indramayu bercerai sepanjang 2019.
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Sidang Perceraian. Sebanyak 9.801 Pasutri di Indramayu bercerai sepanjang 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Kasus perceraian pasangan suami istri (pasutri) di Kabupaten Indramayu sepanjang 2019 melonjak tinggi. Faktor ekonomi menjadi penyebab paling banyak alasan perceraian di Indramayu.

Berdasarkan data dari Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu, kasus perceraian yang diajukan ke PA Indramayu sepanjang 2019 mencapai 9.822 kasus. Dari jumlah itu, pengajuan yang diputus oleh hakim mencapai 9.801 kasus.

Baca Juga

"(Kasus perceraian)  mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya," kata Humas PA Kabupaten Indramayu, Engkun Kurniati, saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (13/1).

Pada 2018, pengajuan perceraian di Kabupaten Indramayu tercatat ada 8.681 kasus. Dari jumlah itu, perceraian yang diputus oleh majelis hakim sebanyak 7.776 kasus.

Dari 9.801 kasus perceraian yang diputus sepanjang 2019 itu, sebanyak 6.046 kasus merupakan cerai gugat atau yang diajukan pihak istri. Sedangkan sisanya yang mencapai 2.301 kasus, merupakan cerai talak atau yang diajukan pihak suami.

Engkun menjelaskan, meski sebagian besar pengajuan perceraian karena alasan ekonomi, namun jika dirunut akar persoalannya, hal itu lebih karena ketidaksiapan mental pasutri tersebut. Akibatnya, saat menghadapi berbagai permasalahan dalam rumah tangga, termasuk masalah ekonomi, mereka akhirnya memilih untuk mengajukan perceraian.

"(Ketidaksiapan berumah tangga) salah satunya karena faktor usia yang masih muda. Mereka berhasrat untuk segera menikah tanpa memikirkan bagaimana berumah tangga. Jadi lebih ke 'gimana nanti', bukan 'nanti gimana?'," kata Engkun.

Engkun menyebutkan, dalam kasus cerai gugat, salah satunya dilatarbelakangi kepergian istri menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Namun, suaminya tidak menghargai jerih payah istrinya dan malah menghabiskan uang kiriman dari sang istri untuk hal yang tidak bermanfaat.

Selain itu, lanjut Engkun, faktor lain yang mendorong terjadinya perceraian adalah rendahnya pendidikan dan pengetahuan. 

Rektor Universitas Wiralodra Indramayu, Ujang Suratno, saat dimintai tanggapannya, menilai, penyebab paling besar terjadinya perceraian di Kabupaten Indramayu adalah ekonomi. 

"Saat ekonomi tinggi, seperti panen, mereka menikah. Padahal dari sisi pendapatan sehari-hari belum pasti. Jadi saat paceklik, mereka bercerai," tutur Ujang.

Selain itu, lanjut Ujang, kepergian istri menjadi TKI juga menjadi penyebab lain terjadinya perceraian. Apalagi, uang yang dikirimkan istri ternyata digunakan oleh suami untuk menikah lagi.

"Ketidakcocokan di antara suami istri juga bisa menimbulkan perceraian," terang Ujang.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement