Senin 13 Jan 2020 02:00 WIB

Pengesahan UU Sumber Daya Air 2019 Tuai Kritik

Harus ada perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk lebih pro-ekologi.

Air keran higienis
Foto: thekitchn.com
Air keran higienis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -  Pengesahan Undang-Undang (UU) Sumber Daya Air (SDA) 2019 menuai kritikan. Menurut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Wahyuni Refi Setya Bekti, UU SDA No. 17/2019 mengandung esensi sama dengan UU SDA No. 7/2004 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015. 

 

"Intinya, pemerintah membuka ruang seluas-luasnya kepada korporasi untuk melakukan privatisasi usaha air," ujar ujar sosok bergelar doktor itu di Jakarta, Ahad (12/1).

 

Dalam UU SDA 2019, kata Refi, hak guna usaha air bermetamorfosis pada diksi penggunaan sumber daya air untuk usaha dan bukan untuk usaha. Masih menurut dia, pola perolehan Perizinan juga masih sama. Turunan teknis di PP juga sama. 

 

Kemungkinan, kata dia, uji materiil maupun gugatan warga negara (citizen lawsuit) tetap akan dilakukan oleh komunitas masyarakat sipil, terlebih setelah PDAM juga didorong untuk  turut memproduksi air minum dalam kemasan. 

 

Refi, sapaan karib Wakil Sekjen DPP PAN itu,  Rabu (8/1) lalu meraih gelar doktor dengan predikat yudisium cum laude di kampus Universitas Indonesia. Disertasi yang ia pertahankan menyorot kebijakan era Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pengelolaan air dengan judul "Konflik Politik Pengelolaan SDA, Studi Kasus Perumusan dan Pembatalan UU 7/2004 tentang SDA".

photo
Disertasi Wahyuni Refi Setya Bekti, mahasiswi S3 FISIP Universitas Indonesia (UI) Depok diganjar sangat memuaskan.

 

Menurut dia, meskipun esensi UU SDA versi 2004 dan 2019 sama-sama sarat dengan kontroversi, konflik politik yang tercermin dalam proses pembahasan di DPR RI sama sekali berbeda. 

 

"Dinamika akademik dalam proses penyusunan UU 17/2019 hampir bisa dikatakan tidak terjadi. UU SDA ini sunyi dan senyap dari konteks perdebatan publik. Tidak disangka, tiba-tiba sudah disahkan DPR RI pada September 2019 lalu," kata dia

 

Refi menilai ada sikap apatis masyarakat yang membuat UU SDA 2019 sepi dari perdebatan publik. Padahal, ia kembali mengingatkan, secara esensi UU SDA 2019 masih senada seirama dengan UU SDA 2004, yang notabene sudah dibatalkan lewat putusan MK 2015. 

 

Kontras dengan pembahasan UU SDA 2019 yang sunyi senyap, hal sebaliknya terjadi dalam proses pembahasan UU SDA 2004. Perdebatan publik sangat riuh saat RUU yang diinisiasi Presiden Megawati itu dibahas di Gedung DPR RI. 

 

Pengesahan UU SDA 2004 di parlemen kala itu juga diwarnai dengan nota keberatan (minderheits nota) dan aksi walk out Fraksi Reformasi (PAN dan PKS). "Bahkan, setelah UU SDA 2004 disahkan, terdapat permohonan pengajuan uji materi ke MK dengan jumlah pemohon terbanyak, yakni mencapai enam kali permohonan uji materi," kata Refi. 

 

Refi meyakini UU ini akan mengalami hal yang sama dengan UU SDA 2004. Berpotensi diuji materi, bahkan dibatalkan. "Saya katakan ini 'de javu'. Kondisi sama di waktu berbeda yang bakal terulang," kata dia.

 

Dari sisi konten, masih kata Refi, perbedaan dari kedua UU SDA di antaranya terletak pada diksi yang dipakai. "UU SDA 2019 tidak menggunakan diksi privatisasi, tapi esensinya justru lebih terbuka dari UU SDA 2004," ujarnya. 

 

Dalam UU SDA 2004, diksi yang dipakai adalah 'hak guna usaha air'. "Yang sekarang ini hampir sama, tapi dia punya klausul yang lebih banyak mengatur tentang keterlibatan ataupun peran swasta," jelas Refi.

 

Di atas semuanya, perempuan kelahiran Surabaya ini menyimpulkan, pengesahan UU SDA 2019 maupun 2004 galibnya dibingkai oleh kepentingan yang sama. 

 

"Intinya, korporasi selalu menggunakan kekuatan lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia atau Asian Development Bank (ADB) untuk memaksa negara dengan membuat kebijakan seturut kepentingannya," duga Refi. 

 

Dalam perspektif senada, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Arif Satria, S.P, MSi., juga menyinggung pentingnya tata kelola sumber daya alam untuk menghindari krisis lingkungan. 

 

Disampaikan dalam pidato pengukuhan guru besar di Fakultas Ekologi Manusia IPB, Sabtu (11/1), Arif Satria mengatakan, krisis lingkungan pada dasarnya berasal dari krisis tata kelola sumber daya alam. Terkait itu, dalam penelitiannya, Arif memberikan dua perspektif baru dalam menangani krisis tersebut.

 

"Diperlukan perbaikan tata kelola dengan membuat perspektif baru yang disebut dengan modernisasi ekologi atau ecology modernization dan ekologi politik atau political ecology untuk menelaah, mengurai, memahami sumber masalahnya dan menawarkan resolusi," ucap Arif.

 

Modernisasi merupakan upaya adaptasi ulang masyarakat industri terhadap lingkungan hidupnya dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern dan teknologi untuk daya dukung alam dan pembangunan berkelanjutan. Di antaranya, kata Arif, melakukan perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk lebih pro-ekologi. 

 

Sedangkan terkait ekologi politik, menurut Arif, krisis lingkungan tidak dapat dilepaskan dari konteks politik dan ekonomi. "Persoalan lingkungan memang tidak terpisah dari konteks politik dan ekonomi (politicized environment), melibatkan aktor-aktor berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional, maupun global," kata Arif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement