Kamis 09 Jan 2020 13:29 WIB

Pembunuhan Soleimani dan Keuntungan Buat Trump

Sentimen nasionalisme yang terbangun di publik AS menguntungkan Trump.

Teguh Firmansyah.
Foto: Teguh Firmansyah
Teguh Firmansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*

Pada 18 Desember 2019 lalu, House of Representatives Amerika Serikat menyetujui pemecatan Presiden AS Donald Trump. Trump dianggap telah menyalahgunakan kewenangannya dan menghalang-halangi Kongres. Ia menjadi presiden ketiga yang diberhentikan majelis rendah dalam sejarah perjalanan Negeri Paman Sam.

Pemecatan itu memang belum final. Karena masih harus mendapat persetujuan dari Senat AS atau majelis tinggi. Jika senat setuju, karier Trump sebagai presiden akan tamat.

Namun, 15 hari pascapemecatan Trump, dunia internasional dikejutkan dengan kabar terbunuhnya jenderal Iran paling berpengaruh di Timur Tengah, Qassem Soleimani. Soleimani terbunuh dalam sebuah serangan udara yang dilancarkan Negeri Paman Sam di dekat Bandara Internasional Baghdad.

Trump mengakui, telah menyetujui pembunuhan tersebut. Trump menilai sosok Soleimani merupakan ancaman bagi AS. Sontak langkah Trump memunculkan kemarahan luar biasa bagi pemerintah dan warga Iran. Trump telah menyalakan sumbu yang tentu saja dampak paling buruknya adalah sebuah perang.  

Namun, dari sisi politik dalam negeri, langkah pembunuhan Soleimani dan ketegangan ini memberikan keuntungan politik buat Trump. Dari sisi pemberitaan, tekanan media AS yang kerap lantang mengkritik Trump makin berkurang. Fokus publik terhadap pemecatan Trump pun teralihkan dengan insiden ini.

Dan yang paling terpenting adalah Trump mencoba membangkitkan sentimen nasionalisme publik AS. Trump harus membangun atau menciptakan musuh serta ancaman dari luar untuk menguatkan kembali posisinya sebagai eksekutif tertinggi.

Apalagi jika ketegangan terus memanas dan kepentingan AS menjadi sangat terancam oleh Iran, posisi Trump akan semakin aman, dan bukan tidak mungkin ia akan menang kembali dalam pemilihan presiden pada November tahun ini.

Di kalangan pendukungnya di Partai Republik dan konservatif Trump memang masih mendapat dukungan cukup kuat. Dari polling yang dilakukan oleh Hill-HarrisX awal pekan ini, rating Trump mencapai 90 persen atau tertinggi selama ia memimpin.

Namun, sejumlah jajak pendapat menilai, Trump masih belum aman untuk memuluskan jalannya memimpin AS untuk kedua kali. Salah satu kandidat Demokrat yang dianggap bisa menjadi pesaing Trump adalah Joe Biden. Jika Joe Biden benar-benar maju, Trump harus berusaha keras untuk kembali memenangkan kursi Amerika 1.

Karena itu, salah satu jurus yang bisa mengamankan Trump kembali terpilih adalah lewat pendekatan konflik. Jika ini benar dilakukan, jangan pernah berharap ketegangan di Timteng akan reda tahun ini.

Bisa saja AS menyerang Iran, bila Teheran melancarkan serangan balasan yang signifikan atas pembunuhan Qasem Soleimani. Semua opsi untuk memberikan tekanan terhadap Iran akan sangat terbuka.

Namun, semua ini bukan tanpa risiko. Perperangan dengan Iran tentu akan menimbulkan korban yang cukup besar mengingat kekuatan Teheran yang tak boleh dianggap remeh.

Iran tak bisa disamakan dengan Irak atau Libya. Dua negara itu sudah didera konflik internal sebelum negara-negara Barat menjatuhkannya. Sebaliknya, rasa persatuan dan kekuatan militer Iran jauh lebih besar dari dua negara tersebut.

Jaringan milisi-milisi Iran di berbagai negara juga terbilang lihai dalam pertempuran jangka panjang. Hal itu terbukti di Suriah. Milisi pro Iran berhasil membantu mempertahankan kekuasaan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Karena itu, menyerang Iran untuk kepentingan politik pribadi hanya akan menjadi mimpi buruk untuk kawasan dan dunia. Donald Trump sebaiknya berpikir berulang kali jika hanya ingin memuaskan ambisi politiknya.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement