REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Manipulasi pembukuan keuntungan menjadi salah satu pangkal sebab PT Asuransi Jiwasraya mengalami gagal bayar. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, aksi laba semu terjadi dalam laporan tahunan sejak 2006. Baru pada 2017 rekayasa akutansi tersebut terungkap.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menjelaskan, permasalahan keuangan yang menerpa PT Jiwasraya sudah terlacak sejak lama. Menurut dia, sejak 2006, PT Jiwasraya membukukan keuntungan.
“Namun laba tersebut, adalah laba semu, sebagai akibat dari rekayasa akuntansi atau windowdressing,” ujar dia saat konfrensi pers di BPK, Jakarta, Rabu (8/1).
Laba semu tersebut, kata Agung, BPK nilai sebagai aksi menutupi kerugian PT Jiwasraya.
“Perusahaan (PT AJS), sebenarnya (sejak 2006) mengalami kerugian,” sambung Agung.
Ia mengungkapkan itu, sebagai hasil pendahuluan audit investigasi yang BPK lakukan terhadap PT Jiwasraya. Agung menerangkan, manipulasi akutansi yang terjadi sejak lama itu, pun sebagai titik pangkal persoalan keuangan pada PT Jiwasraya.
Pada 2017, hasil audit BPK mengatakan, PT Jiwasraya masih tetap membukukan laba semu senilai Rp 360,3 miliar. Akan tetapi, audit BPK 2017 terhadap PT Jiwasraya yang membukukan keuntungan, menemukan pencadangan keuangan yang kurang senilai Rp 7,7 triliun. Kondisi tersebut yang membuat BPK memberikan opini tak wajar terhadap PT Jiwasraya.
“Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan, seharusnya perusahaan menderita kerugian,” terang Agung.
Pada 2018, pembukuan PT Jiwasraya sudah berbalik negatif dari tahun sebelumnya, dengan mencatatkan kerugian sebesar Rp 15,3 triliun. Sampai September 2019, menurut hasil investigasi BPK, Agung menjelaskan, PT Jiwasraya masih mengalami kerugian dengan nilai yang berkurang. Yakni sebesar Rp 13,7 triliun.
Dan pada November 2019, BPK mencatat pembukuan PT AJS yang mengalami negatif equity sebesar Rp 27,2 triliun. “Kerugian itu, terutama terjadi karena PT AJS menjual produk asuransi saving plan dengan cost of fan yang sangat tinggi di atas bunga deposito, dan obligasi,” kata Agung.
Asuransi saving plan, sebetulnya produk PT Jiwasraya yang dinilai memberikan kontribusi terbesar dalam keuangan perusahaan perlindungan jiwa milik negara itu. Produk tersebut dipasarkan sejak 2015. BPK pun menemukan empat aksi korporasi yang menyimpang dalam pemasaran saving plan.
Kecacatan pemasaran itu, salah satunya terjadi aksi ambil untung sendiri yang dilakukan oleh pihak-pihak internal di PT AJS sendiri, dengan memberikan fee atas penjualan produk asuransi tersebut. Penjualan produk asuransi saving plan dengan bunga tinggi, pun dialihkan ke dalam investasi dalam bentuk saham dan reksadana oleh manajemen PT Jiwasraya.
Namun, dalam pengalihan dana tersebut, PT Jiwasraya membeli saham dan reksadana yang dinilai berisiko tinggi dan berkualitas rendah. Agung mengungkapkan, PT Jiwasraya membeli saham BJBR, SMBR, dan PTPRO. Kerugian dari aksi beli saham tersebut, mencatatkan kerugian sebesar Rp 4 triliun.
Pembelian saham itu, pun terindikasi terjadi kongkalikong antara jajaran direksi dan level general manager PT Jiwasraya, serta pihak luar. “Jual beli saham tersebut diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi. Sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya,” kata Agung.
Dalam pengalihan dana saving plan ke dalam reksadana, BPK menemukan adanya kejanggalan yang berbeda. Agung mengungkapkan, pada 30 Juni 2018, PT Jiwasraya memiliki sekitar 28 jenis reksadana.
Sebanyak 20 di antaranya, adalah reksadana PT Jiwasraya dengan kepemilikan saham mencapai 90 persen lebih. Namun, produk reksdana tersebut, pun menurut BPK berstatus underline dengan saham berkualitas rendah dan tidak liquid. Pengalihan dana saving plan ke reksadana PT Jiwasraya, dinilai bermasalah oleh BPK.
“Investasi reksadana memiliki underline saham-saham medium turn notes, dalam hal ini berkualitas rendah. Dan saham-saham tersebut, dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi dengan PT AJS,” sambung Agung.
Akibatnya, dalam audit investigasi, BPK menemukan pengalihan dana saving plan ke dalam reksadana tersebut, membuat kerugian mencapai Rp 6,4 triliun. Besarnya temuan angka kerugian yang dialami PT Jiwasraya, membuat BPK menebalkan kasus gagal bayar perusahaan tersebut, akan berdampak sistemik.
“Kasus Jiwasraya ini sangat besar. Saya ingin menyampaikan bahwa, kondisi kita sekarang adalah situasi yang mengharuskan kita untuk memiiki kebijakan yang berhati-hati. Di mana kasus Jiwasraya ini, besar skalanya. Bahkan saya katakan, gigantik. Sehingga memiliki risiko sistemik,” terang Agung.
Menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin, selama dua bulan ini, pihak Kejakgung, bersama BPK, akan bekerja sama untuk mengungkap perbuatan pidana dan penyimpangan pengelolaan dana nasabah di PT Jiwasraya. Termasuk, kata dia, dengan melakukan penyidikan terhadap 5.000 lebih transaksi di 13 perusahaan investasi PT Jiwasraya.
Burhanudin menerangkan, 98 saksi yang diperiksa oleh Kejakgung, memberikan titik terang yang baru dalam penyidikan. Ia meyakinkan, tim penyidiknya, sudah punya sejumlah nama yang pantas dijadikan tersangka. Karena kata dia, sejumlah alat bukti sudah ada yang cukup menjadi menjadi dasar menetapkan tersangka.
“Kami sudah ancer-ancer siapa pelakunya (tersangka),” kata Burhanuddin.
Masa Depan Jiwasraya