Rabu 08 Jan 2020 16:04 WIB

Ada Opsi Impor demi Turunnya Harga Gas Industri

Presiden Jokowi meminta jajarannya menurunkan harga gas industri dalam tiga bulan.

Pekerja memproduksi ban vulkanisir dengan menggunakan energi jaringan gas Perusahaan Gas Negara (PGN) di pabrik vulkanisir ban CV Darat, Kawasan Industri Tambak Aji, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/10/2019).
Foto: Antara/Aji Styawan
Pekerja memproduksi ban vulkanisir dengan menggunakan energi jaringan gas Perusahaan Gas Negara (PGN) di pabrik vulkanisir ban CV Darat, Kawasan Industri Tambak Aji, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Iit Septyaningsih, Intan Pratiwi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan jajarannya untuk segera mengambil salah satu dari tiga opsi penurunan harga gas industri, yang sebelumnya ia sodorkan. Salah satu opsi itu harus diambil paling lama tiga bulan ke depan.

Baca Juga

Ketiga opsi tersebut adalah pengurangan atau penghilangan jatah (penerimaan) pemerintah, pemberlakuan jatah kuota untuk industri domestik (Domestic Market Obligation/DMO), dan kebijakan bebas impor untuk industri. Penurunan harga jual gas memang menjadi perhatian presiden sejak lama.

Harga jual gas industri saat ini masir bertengger di angka 9-11 dolar AS per Million British Thermal Unit (MMBTU). Padahal menurut Perpres nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas, diputuskan bahwa harga jual gas industri tak boleh lebih dari 6 dolar AS per MMBTU.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita harga gas adalah komponen yang sangat penting bagi industri Tanah Air. Industri dalam negeri sulit bersaing di kawasan selama harga gas masih tinggi.

"Harga gas merupakan hal sangat penting, supaya harga gas yang sampai pada industri sesuai. Dengan begitu industri bisa mempunyai daya saing tinggi, apalagi dibandingkan industri serupa di kawasannya," ujar Agus  kepada wartawan di Jakarta, Senin, (6/3).

Menurutnya agar industri di dalam negeri mampu berdaya saing, harga gas untuk industri tidak bisa lebih dari 6 dolar AS per MMBTU. Maka, kata Agus, Kemenperin mengusulkan tiga opsi sebagai upaya penurunan harga gas untuk sektor industri.

Opsi pertama, ujar dia, pengurangan porsi pemerintah dari hasil kegiatan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S). Dari perhitungan bersama dengan PGN, porsi pemerintah sebesar 2,2 dolar AS per MMBTU.

Jika porsi ini dihilangkan atau dikurangi, maka harga gas bisa turun dari rata-rata sekarang yang sebesar 8 sampai 9 dolar AS per MMBTU.

"Berkaitan pengurangan porsi pemerintah, kira-kira alurnya begini, industri mendapat pasokan gas dari PGN (Perusahaan Gas Negara). Dalam rangka PGN salurkan ke industri, dia harus bangun infrastruktur, tapi di sisi lain PGN pun harus beli gas untuk disalurkan ke industri, entah dari Pertamina, K3S, atau SKK Migas. Ini yang kami maksud pengurangan porsi," tutur Agus.

Opsi kedua, lanjutnya, K3S diwajibkan Domestic Market Obligation (DMO) gas yang bisa diberikan kepada PGN. Dengan begitu akan menjamin kuantitas alokasi gas untuk industri dengan harga spot yang saat ini 4,5 dolar AS per MMBTU.

Agus melanjutkan, opsi ketiga yakni swasta diberikan kemudahan importasi gas untuk pengembangan kawasan-kawasan industri yang belum ada jaringan gas nasional. "Swasta diberikan keleluasaan mengimpor gas, khususnya gas untuk industri. Kalau harga gas sudah bisa diselesaikan sesuai standar dan pasokan gas bisa dijamin, menurut kami sekitar 30 persen masalah industri bisa diselesaikan," jelasnya.

Ia menegaskan, perusahaan diberikan tugas lakukan importasi gas hanya untuk menyuplai industri yang membutuhkan gas. Dengan begitu, industri tersebut bisa dorong daya saing tinggi bagi industri itu.

"Importir gas enggak bisa impor untuk kebutuhan lain, selain kebutuhan industri," tegas Agus.

Menurut Agus, Kemenperin pun telah bekerja sama Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) untuk melakukan kajian mengenai harga gas industri. Disimpulkan, penurunan harga gas di sektor industri akan berdampak pada kenaikan penerimaan negara.

“Semakin kecil harga gas, semakin besar benefit yang diterima oleh negara. Bisa dilihat dari simulasi dampak fiskal penurunan harga gas bumi yang telah kami buat bersama LPEM UI,” kata Agus di Jakarta pada Senin, (6/1).

Ia melanjutkan, setiap penurunan harga gas, omset negara berkurang, tapi produktivitas industri naik. Naiknya produktivitas otomatis menimbulkan multiplier efek, khususnya pada perpajakan.

Berdasarkan simulasi, kata dia, jika harga gas bumi 4 dolar AS per MMBTU, maka bagian pemerintah akan turun sebesar Rp 53,86 triliun. Hanya saja,  penerimaan negara berbagai pajak meningkat dari industri turunannya sebesar Rp 85,84 triliun.

Kemudian, simulasi untuk harga gas 5 dolar AS per MMBTU, maka akan menurunkan bagi hasil pemerintah Rp 44,88 triliun. Sementara akan meningkatkan penerimaan berbagai pajak dari industri turunannya sebesar Rp 71,53 triliun.

Sedangkan untuk harga gas 6 dolar AS per MMBTU, dapat menurunkan penerimaan pemerintah Rp 35,91 triliun. Hanya saja, akan meningkatkan penerimaan negara berbagai pajak dari industri turunannya sebesar Rp 57,23 triliun.

Maka Agus menjelaskan, bagian dari pemerintah akan turun apabila harga gas bumi diturunkan dari harga saat ini sebesar rata-rata 9,5 dolar AS per MMBTU. Meski begitu, pemerintah bisa mendapatkan benefit melalui penambahan beragam pajak meliputi pajak penghasilan dan lainnya.

Penurunan harga gas, menurutnya, juga bakal memengaruhi daya saing industri dalam negeri. Contohnya pada industri kaca, bila harga gas 7 dolar AS per MMBTU, harga jual kaca akan berbeda dengan bila harga gas 5 dolar AS per MMBTU.

[video] Tantangan Industri Indonesia

Reaksi PGN

PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menyatakan siap melayani kebutuhan gas bumi nasional sesuai dengan perannya sebagai sub holding gas untuk mengelola bisnis midstream dan downstream gas bumi nasional. PGN yakin, dalam rangka mendukung perekonomian nasional, gas masih menjadi sumber energi yang efektif, efisien, kompetitif dan ramah lingkungan untuk industri.

Dengan ekspektasi Pemerintah supaya harga gas lebih murah dan efisien, Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mengatakan, pad 2020, PGN akan berupaya keras untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi di seluruh kegiatan operasi. Selain DMO gas untuk menjawab solusi pasokan gas yang berkelanjutan, PGN juga akan mengelola bisnis gas bumi secara terintegrasi pada jaringan gas konvesional termasuk non pipa CNG dan LNG.

“Dari hasil diskusi dengan pemerintah, PGN akan mengembangkan bisnis-bisnis baru. DMO Gas menjadi salah satu solusi untuk menjaga pertumbuhan industri nasional, yang tentunya dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder secara jangka panjang yaitu pemerintah dan investasi hulu yang menarik,” ungkap Gigih , Senin, (6/1).

Memasuki 2020, PGN telah bersiap untuk mengembangkan infrastruktur gas secara masif baik pada 2020 maupun dalam jangka pendek menengah. Pertama, PGN berupaya untuk meningkatan perluasan pembangunan jaringan transmisi Gresik-Semarang dengan panjang 272 km.

Sedangkan, untuk pembangunan jaringan distribusi gas bumi, ditargetkan lebih dari 180 km, dengan rincian di Jawa ± 60 km dan di Sumatera ± 120 km. Target tersebut akan semakin mendekatkan visi menyatukan infrastruktur pipa trans Sumatera dan Jawa.

“Jawa Timur menjadi salah satu concern PGN. Agar bisa memberikan dampak yang makin massif, pemanfaatan gas melalui layanan yang terintegrasi, PGN akan mengembangkan terminal LNG Teluk Lamong dengan kapasitas 40 BBTUD. Termasuk bisnis LNG filling di Teluk Lamong dengan kapasitas 10 BBUTD untuk wilayah baru yang belum terjangkau infrastruktur pipa di sejumlah kota di Jawa Timur Bagian Selatan, Barat, dan Timur,” ungkap Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama.

Pada program 2020 juga akan dilakukan gasifikasi kilang Pertamina. Terutama untuk kilang Cilacap dan kilang Balikpapan dengan volume 47 Bbtud. Sehingga, dapat mengefisiensi bahan bakar kilang Pertamina dan produk turunannya.

“Yang sudah dilakukan 2019 yaitu kilang Balongan. Sekarang sudah menggunakan gas, pipa PGN dan Pertagas telah disinkronkan sehingga bisa menyalurkan gas sekitar 20 Bbtud,” ungkap Rachmat.

Lebih lanjut, Rachmat mengungkapkan, program-program pengembangan infrastruktur ini akan memberikan benefit berupa kehandalan kapasitas infrastruktur LNG dan Gas Pipa Domestik, mendorong tambahan peningkatan utilisasi gas bumi domestik sampai dengan 130 Bbutd atau setara dengan 23 ribu BOEPD, serta meningkatkan kemampuan PGN di pasar internasional sebagai global player.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement