Selasa 07 Jan 2020 00:24 WIB

Politikus PDIP Tampik Anggapan Pemerintah Lembek di Natuna

Menurut politikus PDIP, pemerintah perlu mengambil langkah tepat atas konflik Natuna.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).
Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ono Surono menampik anggapan bahwa, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamlah) lembek terhadap kapal-kapal China yang saat ini berada di Natuna. Justru menurutnya, Indonesia adalah negara yang kuat, tetapi perlu mengambil langkah yang tepat ditengah-tengah situasi memanas di Laut Natuna.

"Seperti yang kita ketahui bahawa kapal ikan China itu dikawal oleh Coast Guard China. Sehingga, boleh dikatakan tidaklah mudah untuk melalukan tindakan hukum langsung," ujar politikus PDI Perjuangan itu saat dihubungi Republika.co.id, Senin (6/1).

Baca Juga

Selain itu, Ono menambahkan, sebenarnya Indonesia siap melakukan konfrontasi dengan siapa pun yang mengganggu, termasuk dengan China. Hanya saja, Ono menegaskan bahwa perang adalah jalan yang terakhir saat masih ada langkah-langkah lainnya, termasuk melayangkan nota protes kepada China.

"Sesuai UU Perikanan No 31/2004 Jo 45/2009 memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk melakukan tindakan hukum berupa penangkapan bahkan penenggelaman kapal bila terbukti melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEE Indonesia," tutur Ono.

Kemudian, kata Ono, Indonesia juga perlu mengkonsentrasikan armada perang dan mendorong armada kapal perikanan Indonesia untuk beroperasi ke Natuna atau Laut China Selatan. Maka, ia meminta agar pemerintah mencabut pelarangan pembangunan kapal perikanan maksimal 150 gross ton (GT). Memperbanyak kapal pengangkut ikan dan membolehkan untuk melakukan transhipment ditengah laut dengan pengawasan yang ketat.

"Melakukan operasi di atas 25 mil sampai 200 mil sebagaimana ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidaklah mudah. Diperlukan kapal skala besar dan waktu yang lama, jadi cabut larangannya," tegas Ono Surono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement