Ahad 05 Jan 2020 08:26 WIB

Di Mana Prabowo yang Dulu Garang Bicara Kedaulatan NKRI?

Prabowo terkesan santai menyikapi konflik Indonesia-China di Natuna.

Menhan Prabowo Subianto (kiri) bersama Kepala Bakamla Laksdya Bakamla A Taufiq R (tengah) dan Menlu Retno Marsudi menyapa wartawan seusai konferensi pers terkait kasus Natuna di Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (3/1/2020).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Menhan Prabowo Subianto (kiri) bersama Kepala Bakamla Laksdya Bakamla A Taufiq R (tengah) dan Menlu Retno Marsudi menyapa wartawan seusai konferensi pers terkait kasus Natuna di Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (3/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Mabruroh, Arie Lukihardianti, Zainur Mashir

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada Jumat (3/1) sore lalu menyambangi kantor Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, guna membahas soal klaim China atas perairan Natuna, Kepulauan Riau. Seusai pertemuan dengan Luhut, langgam Prabowo bisa dibilang berbeda dalam konteks kedaulatan NKRI.

Baca Juga

Selama ini publik mengenal Prabowo sebagai mantan prajurit, patriot sejati, dan garang jika berbicara soal kedaulatan negara. Pada masa kampanye Pilpres 2019 lalu, Prabowo bahkan sampai menggebrak-gebrak mimbar pidato saat meluapkan amarahnya terhadap antek asing dan kekayaaan negara yang dirampok.

Namun kini, Prabowo terkesan tenang dan santai kala perairan Natuna 'dijajah' China. Kapal-kapal nelayan China yang dikawal Coast Guard mereka, tidak hanya mengambil ikan dari perairan Natuna, tetapi juga mengusir nelayan kita.

"Kita tentunya gini, kita masing masing ada sikap. Kita harus cari satu solusi baiklah di ujungnya. Saya kira ada solusi baik. Kita selesaikan dengan baik ya, bagaimanapun China negara sahabat," kata Prabowo kepada wartawan seusai bertemu Luhut.

Prabowo menambahkan masalah yang terjadi di Natuna baru-baru ini diharapkan tidak mengganggu hubungan ekonomi di antara kedua negara.

"Kita cool saja, kita santai kok," imbuhnya.

Senada dengan Prabowo, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga meminta masalah klaim China atas perairan Natuna tidak perlu dibesar-besarkan. Pasalnya, Indonesia tidak pernah mengakui klaim China atas wilayah Tanah Air itu karena tidak sesuai dengan keputusan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang menetapkan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

"Kita enggak pernah tahu ada klaim itu. Kita enggak pernah mengakui itu. Sebenarnya sederhana kok, jadi enggak usah terlalu diributin," imbuhnya.

Cara Prabowo dan juga Luhut dalam menyikapi konflik Natuna menuai kritik publik, warganet, dan juga DPR. Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Kholid misalnya, menyayangkan sikap lembek Prabowo yang seolah menganggap enteng masalah kedaulatan bangsa.

“Pak Prabowo sebagai Menhan tidak boleh anggap isu kedaulatan sebagai isu yang enteng. Santai. Sikapnya harus tegas dan punya wibawa. Kalau lembek, santai-santai, maka bangsa ini akan semakin direndahkan oleh bangsa lain karena tidak punya keberanian dalam bersikap,” ujar Kholid dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/1).

Kholid melanjutkan, pemerintah harusnya kompak memprotes keras kebijakan China yang mengklaim sepihak kedaulatan wilayah Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) di laut Natuna, "Jika sudah menyangkut kedaulatan negara, Pemerintah harus bersikap keras dan tegas. Tidak boleh lembek. Meskipun kepada negara sahabat seperti Tiongkok,” ucapnya.

Oleh karenanya, ia juga meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun dapat bertindak tegas terhadap apa yang dilakukan oleh China. Karena, sikap politik luar negeri Indonesia jelas terkait klaim ZEE di wilayah Laut Natuna dan Laut China Selatan. Indonesia berpegang teguh kepada hukum Internasional dalam UNCLOS 1982 dan keputusan pengadilan arbitrase PBB terkait klaim negara-negara di Laut Tiongkok Selatan.

"Presiden Jokowi harus bersikap jelas dan tegas. Tiongkok sebagai bagian komunitas internasional, harus menghormati norma dan hukum Internasional yang sudah menjadi kesepakatan bersama bangsa-bangsa di dunia," ucapnya.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi juga mengaku sangat merindukan sikap tegas Prabowo ketika kedaulatan bangsa terusik di Natuna. Saat ini, kata Dedi, Prabowo menjadi Menteri Pertahanan RI dan diminta bertindak ketika kedaulatan bangsa terusik di Natuna.

"Pak Prabowo kami mendambakan kegarangan Bapak ketika nasionalisme dan kedaulatan bangsa terusik," kata Dedi kepada awak media, Sabtu (4/1).

Dedi mengatakan, menjaga wilayah perairan dengan tujuan menjaga kedaulatan dan melindungi seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan kewajiban yang melekat pada negara. Menurut Dedi, hubungan persahabatan dengan pemerintah China adalah huburan setara. Karena setara, ketika ada kekayaan yang diambil, sikapnya bukan lagi perundingan, melainkan tindakan tegas.

Namun, tindakannya bukan berdasarkan pendekatan militer, melainkan tindakan sipil yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Menurutnya, tindakan penenggelaman kapal pencuri ikan yang dilakukan Susi Pudjiastuti saat menjadi Menteri KKP adalah metodologi yang tepat dalam menegakkan aturan kelautan.

"Kalau tujuannya adalah melindungi kekayaan ikan kita, sebenarnya metodologi yang dipakai Bu Susi itu cukup merepotkan pencuri ikan," kata anggota DPR dari Fraksi Golkar itu.

[video] Kapal China Melanggar di Natuna

Merespons kritik atas sikap Prabowo, Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menyatakan, Prabowo tidak sepenuhnya santai terkait permasalahan klaim China di Natuna.

“Ya. Pak Prabowo kan lebih mengerti keadaan kekuatan militer kita, kalau jalan perang atau konfrontasi militer akan banyak mudaratnya,” ujar dia ketika dikonfirmasi Republika, Sabtu (4/1).

Oleh sebab itu, dia menilai bahwa pernyataan yang dilontarkan Prabowo yang cenderung santai itu sudah sesuai dengan visi Presiden Jokowi. Di mana, jalur diplomasi terhadap RRC dalam permasalahan Natuna akan lebih diutamakan.

Ia tak menampik bahwa memang ada perbedaan pendapat antara Prabowo dan Luhut yang lebih setuju untuk membeli kapal besar untuk berjaga di perairan Natuna. Akan tetapi, pembelian kapal besar, ia nilai hanya untuk patroli.

“Mungkin usul Pak Luhut, dengan kapal yang besar dan cepat, nantinya mampu menciptakan maritime surviellance kita. Dan bukan untuk perang,” ungkap dia.

Oleh sebab itu, dia menyerahkan semuanya pada Menhan Prabowo, yang juga Ketua Umum Gerindra itu. Terlebih, mengutip Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), menurut dia, keputusan yang dikeluarkan oleh tribunal arbitrase, juga telah didaulat oleh masing-masing negara.

Kepala Dispen Lantamal IV/Tanjungpinang Mayor Marinir Saul Jamlaay di Tanjungpinang, Sabtu (4/1), menyatakan, lima kapal perang Republik Indonesia (KRI) saat ini telah mengamankan perairan Natuna, Kepulauan Riau. Saul menegaskan, situasi di Natuna saat ini dalam kondisi aman.

"Tiga KRI sejak beberapa hari lalu sudah berada di Natuna dan hari ini dua KRI dari Jakarta sudah tiba di Natuna," ujar

Menurut Saul, seluruh kapal asal China sudah diusir dari perairan Natuna. Selain KRI, pengamanan juga dilakukan dengan menggunakan pesawat intai maritim.

"Kondisi sekarang landai, sudah aman. Namun, perairan di Natuna tetap dikawal ketat," tuturnya.

Saul mengemukakan, Lantamal IV/Tanjungpinang memberi bantuan logistik dalam pelaksanaan operasi pengamanan di Natuna. Lanal Ranai terlibat langsung dalam mengamankan perairan Natuna.

"Kalau personel, tidak ada dari Lantamal IV, namun kami membantu logistik," katanya.

Saul menegaskan, permasalahan kapal asal China yang masuk ke Natuna merupakan atensi negara. Lantamal IV/Tanjungpinang pun memberi perhatian khusus terhadap permasalahan itu sejak lama.

"Kami memberi perhatian khusus terhadap pengamanan di daerah perbatasan, seperti di Natuna," ucapnya.

photo
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement