Jumat 03 Jan 2020 08:01 WIB

Greenpeace: Indonesia Alami Krisis Iklim

Banjir di Jakarta tidak hanya akibat krisis iklim.

Rep: Mabruroh/ Red: Nur Aini
Organisasi Lingkungan Greenpeace membentangkan spanduk kampanye energi di Patung Selamat Datang, Bundaran HI, Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Foto: Thoudy Badai
Organisasi Lingkungan Greenpeace membentangkan spanduk kampanye energi di Patung Selamat Datang, Bundaran HI, Jakarta, Rabu (23/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia menyebut, fenomena hujan ekstrem di wilayah Jabodetabek bukan fenomena perubahan iklim, tetapi sudah masuk kategori krisis iklim.

"Kalau dari kami melihatnya, merupakan bukti atau indikasi yang kuat bahwa memang kita sudah masuk krisis iklim. Salah satu fenomena yang sudah teridentifikasi kuat sebagai fenomena krisis iklim adalah curah hujan ekstrem yang terjadi pada waktu yang singkat," ujar Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak dalam sambungan telepon, Jumat (3/1).

Baca Juga

Ia mencontohkan, curah hujan ekstrem yang terjadi di wilayah Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta pada 1 Januari 2020 mencapai 377 mm. Curah hujan ektrem itu merata, karena juga terjadi di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, curah hujan tercatat sebesar 335 mm, dan di Jatiasih, Bekasi curah hujan sebesar 259 mm. 

Menurut Leonard, curah hujan ekstrem yang mencapai 377 mm adalah bukti kuat yang mengindikasikan bahwa Indonesia mengalami fenomena krisis iklim. Dia mengatakan banjir-banjir besar di Jakarta yang terus terulang belum pernah mencapai 377 mm dalam waktu satu malam.

"Itu sudah jauh dari curah hujan normal Jakarta dalam satu bulan dan itu terjadi dalam satu malam. Jadi bisa dibayangkan, kalau hujan satu malam sudah lebih dari yang normalnya satu bulan," kata Leonard.

"Ini fenomena yang sudah teridentifikasi kuat sebagai fenomena krisis iklim, curah hujan ekstrem yang terjadi pada waktu yang singkat," ujarnya.

Curah hujan ekstrem yang mencapai 377 mm, kata dia, tercatat yang paling tinggi dalam sejarah banjir besar Jakarta dalam 1 dekade terakhir. Sebelumnya, ungkap Leonard, curah hujan ekstrem juga pernah melanda Jakarta sebesar 340 mm pada 2007.

Leonard mengakui curah hujan ekstrem memang bukan satu-satunya penyebab banjir. Namun apabila melihat dalam perspektif iklim, kata dia, fenomena itu telah mengindikasikan terjadinya krisis iklim.

"Bahwa krisis iklim sudah terjadi, dan kalau dalam konteks bencana banjir Jakarta dia berkombinasi dengan kelemahan-kelemahan atau salah urus dari banyak hal, di perkotaan, tata tuang, sampah, penurunan muka air tanah kalau di Jakarta utara, dan rusaknya daerah tangkapan air di hulu, jadi dia kombinasi dari itu semua," kata Leonard.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement