Rabu 01 Jan 2020 16:12 WIB

Jangan Berlindung di Balik Body Shaming

Body shaming tak boleh jadi alasan untuk memukul orang lain.

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*

Tanggal 17 Desember adalah waktu yang kurang menyenangkan bagi sahabat dan reporter kami, Rizky Suryarandika. Ketika itu, Rizky, sehabis melakukan peliputan, ia harus menerima bogem mentah dari seorang pria yang sama-sama menggunakan bus Transjakarta. Akibatnya, seperti yang tertulis dalam laporan, hidung dan pelipis Rizky terluka.

Ketika itu, bukannya merasa menyesal pria berperawakan tambun tersebut malah tertawa dan berupaya menantang balik meski saudara kami mengambil gambar. Cerita pun bergulir, dari pelaporan ke pihak kepolisian, dan kisah pemukulan itu dimuat di beberapa media daring nasional. Berikut penulis kutip, petikan cerita yang sudah di muat menjadi berita.

Pemukulan itu bermula ketika Rizky menaiki bus Transjakarta rute 6C di halte seberang Kota Kasablanka untuk menuju Stasiun Tebet pada pukul 15.10 WIB. Ia pun langsung duduk di bangku kosong yang berada tepat di sebelah pelaku.

Namun, pelaku yang memiliki tubuh lebih besar dari korban berusaha mendorong korban agar beranjak, Rizky menolak."Tiap penumpang Transjakarta berhak duduk di bangku mana saja yang kosong. Sedangkan pelaku malah berusaha menduduki dua bangku sekaligus," kata Rizky.

Sekitar 15 menit kemudian, ujar Rizky, pelaku hendak turun di halte Patra Kuningan. Ketika pelaku berdiri dari bangku, ternyata ia melayangkan sikutnya ke wajah Rizky.

Diperlakukan demikian, Rizky pun kesal dan memarahi pelaku. Namun, pelaku malah mendorong korban hingga jatuh ke bagian kursi khusus wanita.

Rizky makin geram dan terus memarahi pelaku. Tanpa disangka, pelaku justru memukul wajah korban. Aksi brutal pelaku berhasil dihentikan oleh petugas yang ada di dalam bus.

Dalam kondisi terluka dan shock, Rizky memilih mengabaikan pelaku. Penumpang lain juga memilih diam ketika insiden itu terjadi. Pelaku pun berhasil meninggalkan bus karena tak dicegat oleh petugas."Saya sangat menyayangkan pihak Transjakarta yang tidak menangkap pelaku. Malah dibiarkan lolos," ujar Rizky

Sampai sini, cerita belum selesai. Hal itu karena ternyata beberapa hari kemudian, si pelaku, yang ternyata bekerja di media, dan petinggi perusahaannya datang meminta maaf.

Fakta baru terungkap, si pelaku merasa mengalami body shaming. Sementara Rizky berkeras apa yang ia katakan bukan body shaming. Ia hanya meminta kursi bisa digunakan untuk dua orang, bukannya satu orang.

Bahkan ketika ia hanya mendapat porsi duduk yang kurang mengenakan, Rizky mengaku masih sempat melakukan pengetikan berita melalui ponsel pintar.

Kata yang justru mengarah ke body shaming terlontar ketika pelaku sudah melakukan tindakan dorongan dan kekerasan kepada Rizky. Hal itu sebagai bentuk kekesalan terhadap aksi main hakim sendiri yang dilakukan pelaku.

Sebagai pengguna transportasi, baik KRL maupun Transjakarta, penulis sendiri sudah terlalu sering bertemu teman-teman sesama pengguna yang berukuran besar atau big size. Kadang, meski bangku kereta meski sudah sempit masih dipaksa untuk diduduki oleh teman-teman pengguna tersebut.

Sebagai bentuk tenggang rasa, kadang penulis merapatkan badan dan kaki untuk memberi ruang teman-teman pengguna KRL. Sementara kalau teman kita seorang perempuan, penulis memilih berdiri.

Nah, bagaimana bila kejadian sebaliknya, yaitu ketika kita memang benar-benar butuh tempat duduk untuk misalnya mengerjakan tugas atau sedang sakit. Bolehkah kami meminta sedikit saja ruang untuk duduk, dan meminta kawan kita untuk merapatkan kaki agar kami bisa duduk.

Kalaupun memang sempat terlontar kata-kata yang menyakitkan, lalu hukum mana yang membolehkan kita memukul orang lain. Bisakah dibicarakan dengan baik tanpa perlu menyikut, mendorong bahkan sampai memukul.

Penulis sebagai wartawan di bidang gaya hidup seringkali menuliskan soal body shaming dan bahayanya. Hanya saja, body shaming tak boleh dijadikan alasan atau wadah perlindungan untuk memukul atau menindas seseorang. Bahkan tanpa merasa bersalah, tertawa meninggalkan korban yang terluka.

Maka itu, penulis menilai hukum harus tetap berjalan. Si pelaku harus menerima ganjaran atas aksi pemukulan kepada saudara kami. Siapapun dia, penulis meminta kepolisian harus menangkap dan menjebloskannya ke penjara.

*) Penulis wartawan Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement